Claxton bahkan menyerukan agar eksistensi penghapus dari bahan karet diharamkan di kelas-kelas. Sontak pernyataannya itu memicu kontroversi. Apa salah sepotong penghapus?
Sang ilmuwan mengatakan, penghapus karet menciptakan sebuah 'budaya' menganggap kesalahan adalah hal yang tabu. Anak-anak merasa harus menanggung malu jika melakukan tindakan salah.
"Itu (setip) adalah cara untuk membohongi dunia. Seakan mengatakan bahwa seseorang tak pernah melakukan kesalahan. Bahwa ia benar sejak awal," kata dia seperti Liputan6.com kutip dari BBC Magazine, Kamis (28/5/2015).
Menurut Claxton, adalah lebih baik untuk mengakui kesalahan, termasuk di lembaran soal ujian atau ulangan para siswa. Sebab, dia menambahkan, itulah yang terjadi di dunia nyata. Bahwa manusia pasti melakukan kesalahan.
Hal itu sekaligus akan menyingkirkan anggapan, nilai adalah yang paling penting, bukan proses.
Claxton menambahkan, dengan menganggap kesalahan sebagai keniscayaan, bahkan teman juga guru. "Pada Abad ke-21 ini, semua orang akan menjadi desainer, arsitek, dan kurator dari proses pembelajaran dirinya sendiri."
Penulis buku, 'Educating Ruby', itu menambahkan, "sekolah seharusnya bukan menjadi tempat untuk mendapatkan jawaban yang benar demi lulus tes. Namun, menjadi tempat yang menyiapkan anak didik mempersiapkan diri untuk menjalani kehidupan nyata."
Lantas, apakah penghapus harus dilarang di ruang kelas?
Tak semua sepakat soal itu. "Saya berpendapat, pelarangan penghapus justru adalah tindakan kejam," kata John Coe, juru bicara National Association for Primary Education (NAPE).
"Namun, dalam beberapa kesempatan, penghapus memang sebaiknya tak digunakan," kata Coe.
Misalnya, dalam pelajaran matematika. "Saya ingin melihat bagaimana cara mereka mengerjakannya," kata dia. Tak hanya bahwa jawaban salah atau benar, melainkan prosesnya.
Apalagi, fakta membuktikan, bejajar dari kesalahan adalah pembelajaran yang penting bagi anak-anak. "Pengamatan di titik mana anak melakukan kesalahan adalah hal yang penting dalam proses mengajar yang baik," kata Coe. "Guru perlu mengamati upaya anak muridnya menyelesaikan sejumlah perintah."
Claxton berargumen, penghapus akan membuat anak-anak menyangkal telah melakukan kesalahan. Dan itu adalah indikasi kegagalan orangtua dan lingkungan untuk mempersiapkan mereka ke dunia nyata.
"Bagi anak-anak, mengakui kesalahan yang ia perbuat adalah sebuah langkah besar," kata Dr Anthony Williams, ahli psikologi anak dari University of Sheffield. "Bahkan orang dewasa kerap menyangkal dan tak mengakui kesalahannya."
Seandainya pelarangan penghapus seperti yang diusulkan Claxton dilakukan, apakah itu akan menyelesaikan masalah?
"Kini, lebih banyak kelas menggunakan teknologi informasi (IT)," kata Williams. "Apakah kita juga harus menyingkirkan tombol 'delete'? Bayangkan jika itu dilakukan."
Menurut dia, 'Bahkan di dunia nyata, kita selalu membuat kesalahan kecil, merevisi, mengubah."
Credit Liputan6.com