Hashina bahkan menyebut para migran itu adalah orang-orang "sakit mental" dan menambahkan bahwa mereka mencoreng nama Banglades di mata dunia.
"Ada banyak pekerjaan untuk mereka (di Banglades), tetapi mereka masih meninggalkan negeri ini dalam cara yang mengerikan. Mereka bisa hidup lebih baik di Banglades," kata Hasina seperti dikutip kantor berita Sangbad Sangstha.
Lebih jauh, PM Hashina menyerukan kepada para pemimpin negara-negara di kawasan untuk menghentikan arus para migran dan mengambil tindakan keras terhadap penyelundupan manusia.
"Selain menghukum para penyelundup manusia, mereka yang meninggalkan negerinya secara ilegal sudah seharusnya dijatuhi hukuman," lanjut Hashina.
"Anda harus melakukan kampanye agar warga tak memberikan uang mereka kepada para penyelundup untuk pergi ke luar negeri secara ilegal. Mereka akan masuk perangkap," ujar Hashina kepada seorang pejabat senior kementerian tenaga kerja Banglades.
Banglades dan beberapa negara Asia Tenggara tengah berupaya keras mengendalikan eksodus manusia perahu yang meninggalkan negeri mereka karena diskriminasi dan kemiskinan.
Sekitar 2.000 orang diduga masih terkatung-katung di Teluk Benggala, dan kini hidup mereka sangat tergantung para penyelundup manusia.
Sebagian besar para migran itu adalah etnis Rohingya yang tak diakui sebagai warga negara Myanmar. Namun, banyak warga Banglades yang berusaha kabur dari kemiskinan berada dalam gelombang manusia perahu itu.
Sejauh ini, sekitar 3.500 orang migran terpaksa berenang ke daratan atau diselamatkan di lepas pantai Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Banglades sejak krisis ini muncul sejak awal bulan ini.
Credit KOMPAS.com