Selasa, 13 Januari 2015

Korea Selatan naikkan belanja pertahanan karena ancaman Korea Utara


Pelatihan gunung: Anggota Pasukan Khusus Korea Selatan berski menuruni gunung saat melakukan latih tubi musim dingin di Pyeongchang pada 8 Januari. [AFP]
Pelatihan gunung: Anggota Pasukan Khusus Korea Selatan berski menuruni gunung saat melakukan latih tubi musim dingin di Pyeongchang pada 8 Januari. [AFP]


Ancaman liar pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, soal kehancuran nuklir dan program senjata nuklir dan rudal yang masih berjalan memaksa Korea Selatan untuk segera memperluas kesiapan pertahanannya. Pemerintahan Presiden Park Geun-hye menaikkan pembelanjaan pertahanannya hampir 5 persen pada tahun 2015 hingga USD 33,6 miliar.
Angka baru itu lebih dari tiga kali lipat dari anggaran pertahanan tahun 2000. Prioritas pembelanjaan akan dipakai untuk sensor-sensor baru untuk mendeteksi kapal selam bersama dengan lebih banyak sistem antirudal. Anggaran itu menambahkan pelatihan untuk pegawai pertahanan sipil dan mereka yang ditugaskan menangani komando Korea Utara yang mencapai jauh ke selatan dari perbatasan Korea Utara.
Charles W. Freeman, Jr., co-chairman Yayasan Kebijakan A.S.-Tiongkok, berkata kepada Asia Pacific Defense Forum [APDF] bahwa naiknya pembelanjaan mencerminkan naiknya ketegangan antara Pyongyang dengan Seoul dan kecenderungan lain di kawasan.
“Pada tahun 2012, untuk pertama kalinya, negara-negara Indo-Pasifik berbelanja lebih banyak untuk angkatan bersenjata mereka daripada negara-negara Eropa. Terkecuali Jepang sejauh ini, para kekuatan besar di sana menaikkan anggaran pertahanan mereka pada taraf dua digit untuk mengimbangi ancaman di dalam kawasan mereka – dari satu sama lain,” kata Freeman.
Anggaran pertahanan 2015 Korea Selatan meminta kenaikan 4,9 persen dari 2014 guna memperbaiki kesejahteraan orang-orang yang bertugas dan meningkatkan kemampuan tempur mereka, kata Kementerian Pertahanan pada 3 Desember, dilaporkan kantor berita resmi Korea Selatan, Yonhap.
Pembelanjaan pertahanan ditetapkan sebesar 37,4 triliun won [USD 33,6 miliar], meliputi sekitar 9,9 persen dari anggaran total nasional sebesar 375,4 triliun won [USD 340 miliar]. Kementerian meminta kenaikan 5,2 persen, kata Yonhap.
Dua pertiga dari anggaran pertahanan dialokasikan untuk personel, dilaporkan Defense-Update.com. Sisa sepertiganya dicadangkan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan.
Anggaran tingkatkan fokus tempur
“Termasuk dalam inisiatifnya adalah merenovasi barak militer dan privatisasi fungsi pemeliharaan dan pendukung, memungkinkan unit tempur berfokus pada peran utama militernya,” kata situs web tersebut.
“Militer juga berencana membelanjakan 1,2 miliar won [USD 1 juta] untuk pengiriman ponsel ke unit-unit guna membantu para prajurit lebih mudah brrkomunikasi dengan keluarga dan teman,” kata laporan itu.
“Salah satu inisiatif utama yang tercakup dalam anggaran 2015 adalah membangun sistem pertahanan udara bumiputera – Pertahanan Udara dan Rudal Korea [PURK],” kata Defense-Update.com.
“Meskipun anggaran 2015 yang disetujui kurang 151,8 miliar won [USD 138 juta] dari yang diminta Kementerian Pertahanan, tidak satu proyek pun yang direncanakan untuk tahun depan akan terdampak oleh anggaran yang terpotong tersebut,” kata pejabat Administrasi Program Perolehan Pertahanan Korea Selatan kepada Yonhap.
Pertumbuhan besar dalam pembelanjaan pertahanan sebagiannya “karena ekonomi Korea Selatan yang terus berkembang tetapi juga akibat ancaman dari Korea Utara yang terus dan semakin kasar, serta keagresifan Tiongkok yang meningkat,” dilaporkan situs web StrategyPage.com pada 23 Desember. “Selain itu, ada tekanan populer di Korea Selatan untuk melenyapkan wajib militer dan menjadi pasukan sukarelawan seluruhnya. Semua ini mahal biaya.
Tindakan 2010 paksa perubahan fokus
“Korea Utara menjadi lebih kasar pada tahun 2010 dan 2011, menyebabkan Korea Selatan menghentikan proyek-proyek yang dirancang untuk membuat AL-nya kekuatan lautan lepas, begitu pula upaya AU untuk memperoleh kemampuan pengisian ulang di udara dan kemampuan lainnya yang memungkinkan untuk operasi jarak sangat jauh,” kata StrategyPage.com.
ROKS Cheonan tenggelam di dekat Pulau Baengnyeong pada 26 Maret 2010, menewaskan 46 dari 104 personel di dalamnya. Hampir dua bulan kemudian, penyelidikan yang dipimpin Korea Selatan menyimpulkan bahwa sebuah torpedo yang ditembakkan dari kapal selam kerdil Korea Utara-lah yang bertanggung jawab atas penenggelaman tersebut.
Korea Utara menyanggah tanggung jawab tersebut. Tiongkok menganggap kesimpulan tersebut tidak kredibel dan Dewan Keamanan PBB mengecam serangan tersebut tanpa menyebut si penyerang.
“Meski dengan semua teknologi [yang dimilikinya], dibutuhkan AL dua hari untuk mengirim kapal pencari ke lokasi penenggelaman. Sementara itu, sebuah kapal nelayan menemukan puing-puingnya di bawah, menggunakan sonar pencari ikan,” dilaporkan StrategyPage.com.
Menyusul tenggelamnya Cheonan, Korea Selatan mundur dari aspirasi laut lepasnya dan berfokus pada pembelian helikopter anti kapal selam dan penyapu ranjau guna menghadapi potensi ancaman dari Korea Utara.
Insiden itu juga menyingkap kekurangan di dalam angkatan bersenjata Korea Selatan, singgung StrategyPage.com.
Sebuah rencana pengorganisasian ulang dan modernisasi “termasuk mengecilkan ukuran angkatan bersenjata. Pada tahun 2008 rencananya adalah mengurangi kekuatan pasukan sebesar 26 persen [dari 680.000 menjadi 500.000] hingga 2020. Pada tahun 2010 rencana itu direvisi untuk diselesaikan pada tahun 2012,” kata laporan tersebut.
Salah satu masalah terbesar yang dihadapi program modernisasi militer Korea Selatan adalah mutu para perwiranya, kata situs web tersebut. “Ini masalah lain yang tersembunyi terlalu lama, dan masih banyak diabaikan. Begitu pula preferensi Korea Utara untuk mencoba peruntungan dan menggunakan kekacauan mematikan guna mencetak angka politik. Kekerasan Korea Utara memaksa Korea Selatan untuk memperhatikan masalah ini.”
Analis keuangan Martin Hutchinson, seorang ahli tentang kekuatan ekonomi berkembang dan penulis di situs web PrudentBear.com, berkata kepada APDF bahwa Pemerintah Korea Selatan tidak memiliki pilihan kecuali menaikkan pembelanjaan pertahanan, mengingat ancaman yang dihadapinya. Namun, dia mengatakan proyeksi peningkatan semestinya masih berada di dalam kapasitas ekonomi dan bahkan meningkatkan investasi teknologi tinggi.
“Korea Selatan harus menganggap ancaman berbahaya dari Korut sesuai dengan apa yang terlihat,” kata Hutchinson kepada APDF. “Tetapi pengeluaran mereka yang terus meningkat kemungkinan tidak akan melambatkan pertumbuhan ekonomi atau mengurangi produktivitas.
“Korea Selatan memiliki peluang besar untuk terus berinvestasi besar-besaran dalam penelitian dan pengembangan lebih canggih,” kata sang analis.
“Kombinasi tingkat kelahiran yang turun dengan kemakmuran yang meningkat berarti negara ini harus mengikuti contoh Amerika Serikat, Jepang, dan bangsa-bangsa Eropa Barat dengan berinvestasi pada kemampuan pertahanan teknologi tinggi daripada sekadar tenaga kerja. Dan ini juga jenis investasi yang kemungkinan meningkatkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang sehat.”


Credit APDForum