Selasa, 27 Januari 2015
Mengapa Arab Saudi Punya Putra Mahkota Kedua?
Raja Arab Saudi yang baru Salman bin Abdulaziz
CB - MEDIA sudah mulai membahas figur dua putra mahkota Kerajaan Arab Saudi, yakni Pangeran Moqren bin Abdul Aziz bin Saud dan Pangeran Mohammed bin Nayef, saat Arab Saudi masih diliputi dukacita mendalam atas mangkatnya Raja Abdullah, Jumat (23/1). Moqren (69) ditetapkan menjadi putra mahkota dan Mohammed (55) putra mahkota kedua.
Posisi putra mahkota kedua (wali wali al-’ahd atau biasa diterjemahkan dalam bahasa Inggris, deputy crown prince) diciptakan Raja Abdullah. Ia hanya bisa menjadi putra mahkota jika posisi putra mahkota lowong dan hanya bisa menjadi raja jika jabatan raja dan putra mahkota lowong.
Mansour AlMarzoqi dalam analisisnya di Al Jazeera, 22 Januari, memaparkan, penetapan putra mahkota kedua terkait persaingan tajam di kalangan keluarga kerajaan, yakni antara Pangeran Moteb bin Abdullah (anak Raja Abdullah) dengan Kepala Pasukan Garda Nasional dan Menteri Dalam Negeri Pangeran Mohammed bin Naif.
Dengan menetapkan putra mahkota kedua, Raja Abdullah berharap suksesi di kerajaan berlangsung mulus dan damai, tanpa perseteruan. Maret 2014, Raja Abdullah menetapkan Moqren, putra termuda dari 45 anak laki-laki Abdul Aziz, sebagai putra mahkota kedua.
Harapan terjadi suksesi yang mulus tanpa percecokan itu pula yang ingin diwujudkan Raja Salman—pengganti Raja Abdullah—menetapkan keponakannya, Pangeran Mohammed bin Nayef sebagai putra mahkota kedua.
Dunia menyoroti penunjukan Mohammed. Ia figur pertama dari generasi kedua Kerajaan Arab Saudi atau cucu Abdul Aziz untuk mendapat jabatan tertinggi, putra mahkota. Menurut Undang-Undang Arab Saudi, pemimpin kerajaan harus dijabat anak laki-laki atau cucu Abdul Aziz, pendiri Arab Saudi.
Pangeran Mohammed adalah sosok penting dalam perang melawan kelompok milisi Al Qaeda menyusul gelombang serangan mematikan di negaranya antara 2003 dan 2007. Melihat latar belakangnya, terlihat prioritas Arab Saudi yang lebih menekankan pada masalah keamanan.
Lahir pada 30 Agustus 1959, Mohammed mengambil alih jabatan menteri dalam negeri pada 2012 dari ayahnya, Nayef bin Abdulaziz, yang meninggal setelah 37 tahun menduduki jabatan penting tersebut. Ia belajar ilmu politik di Amerika Serikat dan beberapa kali mengikuti pelatihan militer, termasuk yang digelar Badan Intelijen Pusat AS (CIA).
Ia hampir tewas dalam serangan bom bunuh diri Al Qaeda pada 2009. Ia hanya luka ringan saat pelaku bom bunuh diri menembus barikade pasukan pengamanan dan meledakkan diri. Di pundak sosok generasi kedua, seperti Mohammed, masa depan Arab Saudi dipertaruhkan.
Credit Kompas.com