Senjata laser mahakarya ilmuwan Soviet ialah Kompresi dari proyek 1K17. Senjata ini mulai gunakan pada 1992. Foto: Asosiasi Ilmiah Astrophysics
Musim gugur lalu, AS dan Tiongkok mengumumkan pengembangan senjata laser yang akan digunakan sebagai alat tempur militer. Rusia pun diam-diam tengah mengembangkan kembali senjata laser warisan Uni Soviet.
Pada bulan September, Boeing memperkenalkan senjata High
 Energy Laser Mobile Demonstrator berdaya sepuluh kilowatt yang mampu 
melumpuhkan berbagai sasaran, mulai dari pesawat tanpa awak hingga rudal
 musuh. Dua bulan kemudian, Komandan Armada V Angkatan Laut
 AS, Wakil Laksamana John Miller, mengonfirmasi bahwa AL AS telah 
menerima laser tempur pertama mereka dan memasang senjata tersebut pada 
kapal serbu amfibi USS Ponce.
Tiongkok 
juga mengumumkan pengembangan laser yang dapat menembak jatuh sasaran 
udara berukuran kecil. Sementara, meski belum banyak hal yang terungkap 
pada publik, Rusia juga tengah mengembangkan program lasernya. 
Dalam tahap pengembangan saat ini, teknologi roket masih jauh lebih unggul dibanding senjata laser. Tapi dari segi biaya, senjata laser terbilang lebih efisien dibanding rudal. Peluncuran misil memakan biaya yang sangat mahal. Jika digunakan untuk jarak jauh, senjata rudal membutuhkan sistem navigasi
 tambahan, cadangan bahan bakar dalam jumlah besar, serta perlengkapan 
lain yang membuat biaya peluncuran sebuah tembakan kian meroket. 
Sementara, peluncuran sebuah tembakan laser hanya 
membutuhkan biaya yang setara dengan penyediaan daya untuk tembakan 
tersebut. Hal itulah yang membuat Uni Soviet
 tertarik mengembakan senjata laser. Pada tahun 1960an, Uni Soviet 
memulai program pengembangan senjata laser di Pusat Produksi dan Riset 
Ilmiah Astrophysics yang rahasia.
Stiletto
SLK 1K11 “Stiletto”. Foto: Asosiasi Ilmiah Astrophysics
Kala itu, teknologi yang ada belum mampu mengakomodasi 
pembuatan senjata laser yang cukup kuat untuk menghancurkan sasaran 
bergerak. Maka, para peneliti di Astrophysics berupaya menciptakan 
senjata yang dapat ‘membutakan’ tank, senapan otomatis, dan helikopter
 yang terbang rendah, dengan mengincar fotosensor pada sistem 
pengelihatan optikal sasaran tersebut. Setelah ternetralisir, kendaraan 
tersebut akan menjadi sasaran empuk yang mudah dihancurkan.
Senjata yang diberi nama Stiletto itu memiliki 
pasokan daya portabel dan dipasang pada sasis kendaraan beroda rantai 
penebar ranjau. Pada 1982, Stiletto masuk dalam perbendaharaan senjata 
Tentara Merah, namun masih digolongkan sebagai senjata percobaan. Uni 
Soviet hanya memproduksi dua buah senjata tersebut, dan hingga saat ini 
Stiletto masih digunakan oleh Tentara Rusia.
Sanguin 
“Sanguin” mampu menembakan laser secara vertikal. Foto: Asosiasi Ilmiah Astrophysics
Setelah Stiletto selesai, peneliti Astrophysics 
beralih mengerjakan senjata laser yang lebih canggih untuk pertahanan 
udara. Senjata yang kemudian diberi nama Sanguin tersebut setara dengan 
senjata laser milik sistem antipesawat otomatis Shilka. 
Berbeda dengan Stiletto, Sanguin merupakan senjata 
yang lebih modern. Senjata ini mampu menembakan laser secara vertikal. 
Sebagai perbandingan, sebuah meriam laser yang terpasang pada Shilka 
dapat melumpuhkan sistem optikal helikopter pada jarak sepuluh kilometer
 dan dapat melumpuhkan fungsi keseluruhan sebuah helikopter dari jarak 
delapan kilometer.
Ketika itu, belum ada kendaraan udara tanpa awak yang
 telah diproduksi. Maka, para perancang senjata menciptakan sistem 
Aquilon yang menjadi ‘rumah’ untuk Sanguin.
Sistem Aquilon. Foto: Asosiasi Ilmiah Astrophysics
Sanguin pun digunakan kemudian digunakan oleh 
Angkatan Laut dan bertugas merusak sistem elektro-optikal yang digunakan
 oleh unit penjaga pantai.
Kompresi
Senjata laser mahakarya ilmuwan Soviet ialah Kompresi
 dari proyek 1K17. Senjata ini mulai gunakan pada 1992. Kompresi mirip 
dengan roket tembak salvo Pinokio, namun alih-alih mewadahi 12 
selongsong roket, Kompresi berisi laser multi-lini. Tiap lini memiliki 
rentang frekuensi tersendiri dan sistem pemanduan internal yang tak 
dapat diganggu oleh sistem filter musuh.
Hingga saat ini, sistem senjata Kompresi masih 
dirahasiakan dan belum ada informasi mengenai karakteristik senjata 
seperti jangkauan tembak, kekuatan tembakan, maupun jumlah target yang 
dapat dihancurkan.
Jangkauan tembak Kompresi diduga lebih pendek 
dibanding Sanguin, namun dua kali lipat dibanding jangkauan tank modern.
 Namun, di luar semua keunggulan tersebut, Kompresi masih mengidap 
penyakit senjata laser, yakni hanya bisa menghancurkan target yang tak 
terhalang apapun.
Peluncuran tembakan jarak dekat saat pertempuran juga
 terhambat oleh relief daratan, sehingga dengan kata lain, sistem laser 
masih terbilang kurang praktis. 
Namun bagaimanapun, seperti yang telah ditunjukan oleh AS dan 
Tiongkok, penggunaan laser dapat menjadi alternatif untuk menghancurkan 
misil, helikopter, dan pesawat drone di masa mendatang.Credit RBTH Indonesia
