TOKYO (CB)- Lebih dari 10.000 orang menuntut surat kabar liberal ternama Jepang, Asahi Shimbun, terkait artikel tentang perbudakan seks yang dilakukan tentara negaranya pada masa perang.
Para penuntut mengatakan laporan tersebut telah menodai reputasi mereka sebagai warga negara Jepang.
Gerakan ini merupakan isu terbaru dalam peperangan melawan sejarah Jepang, yang mengadu kaum revisionis sayap kanan yang semakin agresif melawan arus utama, yang mengakui kesalahan negara atas kekejaman Perang Dunia ke-2.
Kelompok penggugat, yang dipimpin oleh profesor emeritus Shoichi Watanabe dari Sophia University, menuntut uang sebesar 10.000 Yen sebagai kompensasi simbolik untuk setiap orang yang mengajukan tuntutan.
Dilansir AFP dari sumber dari pengadilan, mereka mendeskripsikan dirinya sebagai "warga negara Jepang yang kehormatan dan kredibilitasnya dihancurkan oleh laporan palsu Asahi Shimbun."
Mereka menganggap bahwa artikel Asahi tentang "perempuan penghibur" telah "menimbulkan penghinaan tidak terlukiskan bukan hanya untuk para pejuang namun juga untuk warga Jepang yang terhormat, yang dianggap sebagai keturunan pemerkosa."
Meski hampir tidak ada catatan resmi, para sejarawan terkenal mengatakan lebih dari 200.000 perempuan, tidak hanya dari Korea namun juga Tiongkok, Indonesia, Filipina dan Taiwan, melayani para tentara Jepang di rumah pelacuran militer yang dinamakan "stasiun kenyamanan." Mayoritas pendapat menyatakan setuju bahwa para perempuan tersebut bekerja karena dipaksa dan tentara Kekaisaran Jepang beserta pemerintah saat perang berlangsung terlibat dalam perbudakan tersebut, secara langsung maupun tidak langsung.
Namun kaum sayap kanan mengatakan bahwa perempuan-perempuan tersebut adalah para wanita tunasusila yang terlibat dalam pertukaran komersial.
Surat kabar Asahi menjadi sasaran kemarahan kaum sayap kanan karena menerbitkan artikel bersambung sejak tahun 1980-an yang didasarkan pada pengakuan seorang pria Jepang bahwa dia mengumpulkan perempuan Korea untuk dipekerjakan di rumah pelacuran militer.
Setelah bertahun-tahun dalam tekanan, surat kabar tersebut menarik artikel-artikelnya dan meminta maaf. Pemimpin perusahaan media ini juga mengundurkan diri.
Langkah konservatif Asahi ini membuat Perdana Menteri nasionalis Shinzo Abe, yang ingin menyampaikan sejarah Jepang dengan lebih simpatik, menganggap bahwa memang ada yang salah terkait terbitan-terbitannya.
Dalam dokumen tuntutan hukum dikatakan bahwa, "pada periode perang lalu, Asahi Shimbun secara konsisten dihantui oleh fantasi sosialis, diinfeksi pemikiran antiJepang, ideologi yang menghancurkan diri sendiri." Asahi Shimbun juga digugat karena tidak pernah ragu mempermalukan laki-laki yang mempertaruhkan hidupnya untuk kemerdekaan dan modernisasi Jepang.
Selain itu dalam dokumen tertulis, "militer Jepang sesuai dengan hukum internasional dan memiliki standar moral yang tinggi dengan standar disiplin militer paling ketat di dunia." Para revisionis juga tidak memercayai kejadian "Pemerkosaan di Nanking" yang memiliki dokumentasi lengkap.
Peristiwa di Nanking merupakan tragedi di mana 10.000 perempuan Tiongkok meninggal akibat pemerkosaan secara bersama-sama dan kekerasan yang dilakukan selama enam minggu saat tentara Kekaisaran Jepang menduduki ibu kota Tiongkok pada 1937.
Kaum revisionis juga tidak menerima bahwa militer Jepang melakukan percobaan-percobaan, termasuk pembedahan terhadap tahanan hidup di Tiongkok.
Surat kabar Asahi mengatakan akan terlebih dahulu mempelajari dokumen pengadilan sebelum memberikan tanggapan.
Credit BeritaSatu