Tentara dan warga sipil Myanmar
dilaporkan kerap membakar jasad Rohingya untuk menutupi pembunuhan
massal terhadap etnis minoritas Muslim itu. (Reuters/Mohammad Ponir
Hossain)
Jakarta, CB --
Tentara dan warga sipil Myanmar dilaporkan kerap membakar jasad
Rohingya untuk menutupi pembunuhan massal terhadap etnis minoritas
Muslim tersebut.
Hal ini terungkap dalam laporan Proyek Arakan, lembaga yang memantau kekerasan di negara bagian Rakhine, Myanmar. Hingga saat ini, lembaga itu mengklaim sudah menemukan setidaknya 130 kasus.
Direktur Proyek Arakan, Chris Lewa, mengatakan bahwa awalnya, aparat keamanan akan mengepung desa-desa Rohingya dan menembak mereka secara membabi buta.
"Yang kami temukan, sekarang ini, setelah pembunuhan itu, militer dan warga sipil lain mengumpulkan dan membakar jasad-jasad itu agar tidak ada bukti," ujar Lewa kepada Independent.
Proyek Arakan memastikan, praktik ini masih terus terjadi di Myanmar, meski pun mereka belum mewawancarai korban selamat yang diduga sudah kabur ke Bangladesh.
Di perbatasan Bangladesh sendiri kini diperkirakan ada 73 ribu orang Rohingya yang berupaya masuk ke negara itu sejak bentrokan terakhir pecah pada 25 Agustus lalu.
Bentrokan antara militer Myanmar ini bermula ketika kelompok bersenjata Pasukan Penyelamat Arakan Rohingya (ARSA) menyerang sejumlah pos polisi dan satu pangkalan militer di Rakhine.
ARSA sudah melancarkan serangkaian aksi sejak tahun lalu untuk menuntut perlakuan adil terhadap Rohingya. Kaum minoritas tersebut memang kerap menjadi korban kekerasan dan diskriminasi, bahkan tidak pernah diberi kewarganegaraan.
Bentrokan terakhir ini kembali membuat mata internasional tertuju ke Myanmar. Perserikatan Bangsa-Bangsa pun turut angkat bicara dan meminta pemerintah Myanmar untuk menghentikan pembantaian terhadap Rohingya.
Hal ini terungkap dalam laporan Proyek Arakan, lembaga yang memantau kekerasan di negara bagian Rakhine, Myanmar. Hingga saat ini, lembaga itu mengklaim sudah menemukan setidaknya 130 kasus.
Direktur Proyek Arakan, Chris Lewa, mengatakan bahwa awalnya, aparat keamanan akan mengepung desa-desa Rohingya dan menembak mereka secara membabi buta.
"Yang kami temukan, sekarang ini, setelah pembunuhan itu, militer dan warga sipil lain mengumpulkan dan membakar jasad-jasad itu agar tidak ada bukti," ujar Lewa kepada Independent.
Proyek Arakan memastikan, praktik ini masih terus terjadi di Myanmar, meski pun mereka belum mewawancarai korban selamat yang diduga sudah kabur ke Bangladesh.
Di perbatasan Bangladesh sendiri kini diperkirakan ada 73 ribu orang Rohingya yang berupaya masuk ke negara itu sejak bentrokan terakhir pecah pada 25 Agustus lalu.
Bentrokan antara militer Myanmar ini bermula ketika kelompok bersenjata Pasukan Penyelamat Arakan Rohingya (ARSA) menyerang sejumlah pos polisi dan satu pangkalan militer di Rakhine.
ARSA sudah melancarkan serangkaian aksi sejak tahun lalu untuk menuntut perlakuan adil terhadap Rohingya. Kaum minoritas tersebut memang kerap menjadi korban kekerasan dan diskriminasi, bahkan tidak pernah diberi kewarganegaraan.
Bentrokan terakhir ini kembali membuat mata internasional tertuju ke Myanmar. Perserikatan Bangsa-Bangsa pun turut angkat bicara dan meminta pemerintah Myanmar untuk menghentikan pembantaian terhadap Rohingya.
Credit cnnindonesia.com