YANGON
- Pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia (HAM) di Myanmar, Yanghee
Lee, mengkritik pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi, karena gagal
melindungi minoritas Muslim Rohingya. Menurutnya, sudah waktunya peraih
Nobel Perdamaian itu turun tangan menghentikan kekerasan terhadap etnis
Rohingya di Rakhine.
Seruan Lee muncul saat jumlah warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh mencapai sekitar 87.000 orang. Data yang dimiliki PBB itu melebihi dari angka eksodus warga Rohingya dalam kasus serupa Oktober 2016.
Kedua kasus tersebut dipicu oleh serangan militan Rohingya terhadap pos-pos polisi yang memicu tindakan keras militer Myanmar yang juga dikenal sebagai Burma.
Gambar satelit yang dirilis Human Rights Watch menunjukkan banyak rumah dibakar di bagian utara negara bagian Rakhine. Menurut kelompok HAM yang berbasis di Amerika Serikat itu, lebih dari 700 rumah di satu desa dihancurkan.
Pihak militer mengklaim sedang memerangi kelompok gerilyawan Rohingya yang menyerang warga sipil. Verifikasi independen atas apa yang terjadi di Rakhine sulit dilakukan karena pemerintah Myanmar menutup akses wartawan ke Rakhine.
Yanghee Lee mengatakan skala kehancuran kali ini jauh lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi bulan Oktober 2016.
”Pemimpin de facto perlu turun tangan, itulah yang kami harapkan dari pemerintah manapun, untuk melindungi semua orang di dalam yurisdiksinya sendiri,” katanya, seperti dikutip BBC, Senin (4/9/2017).
Su Kyi, yang menjadi tahanan rumah selama bertahun-tahun karena aktivitas pro-demokrasinya telah menikmati kebebasan setelah partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) mengalahkan kubu junta militer dalam pemilu 2015. Tapi, konstitusi produk junta militer melarang Suu Kyi menjadi presiden.
Dia telah dikritik di masa lalu karena gagal menasihati militer. ”Suu Kyi tersandera di antara batu dan medan yang sulit,” kata Lee. ”Saya pikir sekarang saatnya dia keluar dari tempat itu sekarang,” lanjut Lee.
Vivian Tan, juru bicara badan pengungsi PBB atau UNHCR yang berada di perbatasan Bangladesh, mengatakan bahwa orang-orang Rohingya yang tiba di kamp-kamp pengungsian berada dalam kondisi sangat buruk.
”Mereka bilang belum makan berhari-hari, bukan sejak mereka melarikan diri dari rumah mereka, mereka bertahan dengan air tanah atau air hujan. Mereka telah berjalan berhari-hari, mereka kelelahan secara fisik, mungkin saja mereka trauma,” katanya.
Seruan Lee muncul saat jumlah warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh mencapai sekitar 87.000 orang. Data yang dimiliki PBB itu melebihi dari angka eksodus warga Rohingya dalam kasus serupa Oktober 2016.
Kedua kasus tersebut dipicu oleh serangan militan Rohingya terhadap pos-pos polisi yang memicu tindakan keras militer Myanmar yang juga dikenal sebagai Burma.
Gambar satelit yang dirilis Human Rights Watch menunjukkan banyak rumah dibakar di bagian utara negara bagian Rakhine. Menurut kelompok HAM yang berbasis di Amerika Serikat itu, lebih dari 700 rumah di satu desa dihancurkan.
Pihak militer mengklaim sedang memerangi kelompok gerilyawan Rohingya yang menyerang warga sipil. Verifikasi independen atas apa yang terjadi di Rakhine sulit dilakukan karena pemerintah Myanmar menutup akses wartawan ke Rakhine.
Yanghee Lee mengatakan skala kehancuran kali ini jauh lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi bulan Oktober 2016.
”Pemimpin de facto perlu turun tangan, itulah yang kami harapkan dari pemerintah manapun, untuk melindungi semua orang di dalam yurisdiksinya sendiri,” katanya, seperti dikutip BBC, Senin (4/9/2017).
Su Kyi, yang menjadi tahanan rumah selama bertahun-tahun karena aktivitas pro-demokrasinya telah menikmati kebebasan setelah partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) mengalahkan kubu junta militer dalam pemilu 2015. Tapi, konstitusi produk junta militer melarang Suu Kyi menjadi presiden.
Dia telah dikritik di masa lalu karena gagal menasihati militer. ”Suu Kyi tersandera di antara batu dan medan yang sulit,” kata Lee. ”Saya pikir sekarang saatnya dia keluar dari tempat itu sekarang,” lanjut Lee.
Vivian Tan, juru bicara badan pengungsi PBB atau UNHCR yang berada di perbatasan Bangladesh, mengatakan bahwa orang-orang Rohingya yang tiba di kamp-kamp pengungsian berada dalam kondisi sangat buruk.
”Mereka bilang belum makan berhari-hari, bukan sejak mereka melarikan diri dari rumah mereka, mereka bertahan dengan air tanah atau air hujan. Mereka telah berjalan berhari-hari, mereka kelelahan secara fisik, mungkin saja mereka trauma,” katanya.
”Kami melihat banyak wanita dan anak-anak yang masih kecil, beberapa bayi baru lahir, dan bayi-bayi ini telah terpapar elemen-elemen selama berhari-hari sehingga mereka sangat lemah dan mereka memerlukan perawatan medis. Jumlahnya benar-benar mengkhawatirkan dan mereka terus bertambah,” papar Tan.
Credit sindonews.com