Seorang petani memanen tanaman gandum yang
rusak karena curah hujan tinggi, di pinggiran Ajmer, India, 8 April
2015. India diterpa isu-isu malnutrisi, dan lonjakan inflasi, tetapi
India tak kekurangan pangan. India termasuk negara terbesar di dunia
penghasil gandum dan sayur, meski 40 persen dari produksinya menguap
begitu saja oleh karena persoalan-persoalan yang dihadapi. AP/Deepak
Sharma
Marco Springmann dari University of Oxford, Inggris, membuat model penelitian yang melihat dampak perubahan iklim pada komposisi pangan masyarakat dari 155 negara di seluruh dunia. “Banyak yang sudah melakukan penelitian tentang ketahanan pangan, tapi sedikit yang berfokus pada dampak kesehatan,” katanya melalui siaran pers yang diterima Tempo pada Kamis, 3 Maret 2016.
Pada 2050, bila tak ada tindakan intervensi untuk mengurangi emisi global, perubahan iklim dapat mengurangi ketersediaan pangan hingga sepertiga. Saat itu, diperkirakan rata-rata orang akan kehilangan konsumsi 99 kilokalori per hari; 14,9 gram buah dan sayur; serta daging merah hanya 0,5 gram per hari.
Kematian terbanyak akan terjadi di negara-negara yang penduduknya berpenghasilan menengah ke bawah. Angka terburuk dialami daerah Pasifik Barat (264 ribu jiwa); Cina (248 ribu jiwa); Asia Tenggara (164 ribu jiwa); dan India (136 ribu jiwa).
Pengurangan emisi dapat memberikan keuntungan bagi bidang kesehatan. Salah satunya memangkas angka kematian akibat perubahan iklim sebesar 29-71 persen, bergantung pada intervensi yang diambil. Contohnya, bila emisi dijaga pada angka sedang (atau kenaikan suhu hanya 1,3-1,4 derajat Celsius pada 2046-2065 bila dibandingkan dengan masa pra-industri), korban meninggal dapat berkurang hingga 45 ribu orang.
Untuk itu, Springmann mengatakan petugas kesehatan di seluruh dunia perlu segera melakukan program adaptasi. “Salah satunya meningkatkan konsumsi buah dan sayuran sebagai prioritas mitigasi dampak iklim bagi kesehatan,” tuturnya.
Credit TEMPO.CO