Kamis, 18 Desember 2014

Sanksi Barat dan Harga Minyak Menerjang Perekonomian Rusia


 
DMITRY SEREBRYAKOV / AFP Nilai tukar mata uang Rusia, rubel, rontok di tengah penurunan harga minyak dunia, konflik Ukraina, dan ketidakpercayaan pasar terhadap kebijakan bank sentralnya yang menaikkan tinggi suku bunga acuan. Gambar diunggah pada Selasa (16/12/2014), memperlihatkan seorang perempuan berlatarkan papan kurs di depan bank terbesar di Rusia.


JAKARTA, CB – Masalah politik Rusia dengan Ukraina ditengarai menjadi akar permasalahan kolapsnya ekonomi negari Beruang Merah itu. Ditambah lagi, membanjirnya pasokan minyak mentah dari negara-negara penghasil minyak (OPEC) telah memperparah kondisi Rusia yang juga adalah produsen minyak.

“Sejak menyerang Ukraina, Rusia mendapat sanksi yang terus berjalan sampai sekarang. Jadi ada pertempuran senjata, dan pertempuran ekonomi saat ini. Ekonomi Rusia kolaps, terpuruk, dan membuat sentimen di emerging market menjadi jelek sekarang ini,” kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara, di Jakarta, Rabu (17/12/2014).

Sejak dikenai sanksi itu pula, rubel Rusia terus melemah. Bank Sentral Rusia tercatat sepanjang tahun ini sudah enam kali menaikkan suku bunga acuan. Mereka pun melakukan intervensi ke pasar valas untuk mengerem pelemahan. Hasilnya cadangan devisa tergerus hingga tinggal 400 miliar dollar AS.

Terakhir, Bank Sentral Rusia menaikkan 650 basis poin suku bunga acuannya menjadi di level 17 persen. Padahal, belum ada sepekan sebelumnya, suku bunga acuan juga sudah naik 100 basis poin. Namun, rubel Rusia justru semakin terteken.

Harga minyak
Mirza juga menyampaikan, selain sanksi dari Barat--Eropa dan Amerika--, Rusia juga berhadapan dengan merosotnya harga minyak dunia. Negara-negara anggota OPEC, ujar dia, dengan senjaga pula tetap membanjiri pasar dengan pasokan minyak agar penjualan minyak menjadi tidak ekonomis.

“Harga minyak dunia turun drastis membuat prospek ekonomi Rusia terkontraksi negatif pada tahun depan. Ini juga yang menyebabkan mata uang rubel Rusia turun dan Bank Sentral-nya mencoba bertahan dengan menaikkan suku bunga,” papar Mirza.

Mirza mengatakan, Rusia selama ini sama-sama dipandang sebagai emerging market seperti Indonesia. Namun begitu, dia yakin investor akan melihat perbedaan di antara dua negara dan memberikan ekspektasi yang berbeda terhadap Indonesia.

Pelaku pasar, sebut Mirza, akan melihat fundamental Indonesia, dan kebijakan investasi yang akan diambil pemerintah baru. “Joko Widodo terbuka untuk asing investasi, PTSP, peningkatan ekspor perikanan. Kalau ini terealisasi baik, orang akan melihat lagi Indonesia, dan rupiah bisa stabil,” tegas Mirza.



Credit KOMPAS.com