Kamis, 04 Desember 2014

Rusia sambut pejabat Korea Utara




http://apdforum.com/shared/images/2014/12/03/korea-russia-trip.jpg
Kunjungan dari Korea Utara: Duta Besar Kim Hyun-joon, kiri, bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Istana Besar Kremlin, Moskwa.  Kim memimpin delegasi dari Korea Utara untuk bertemu dengan mitranya dari Rusia pada 19 November. [AFP]


Rusia dan Korea Utara menghangatkan hubungan diplomatik mereka.  Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, mengirim dua orang wakil terasnya yang tepercaya ke Moskwa pada akhir November untuk bertemu dengan Presiden Vladimir Putin.
Negara terbesar di dunia dari segi wilayah dan “Kerajaan Pertapa” yang kecil dan tertutup dari Asia Timur Laut tidak memiliki banyak hal untuk ditawarkan satu sama lain dari segi ekonomi.  Namun, kedua negara sama-sama menerima sanksi ekonomi dan keterkucilan yang dikenakan dunia internasional, terutama dari Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Menyusul pertemuan dengan Putin, pejabat teras Korea Utara dan militer Rusia mengadakan perbincangan di Moskwa tentang cara meningkatkan hubungan pertahanan di antara mantan sekutu komunis itu, Kantor Berita Pusat Korea [KCNA], media pemerintahi Pyongyang melaporkan.
No Kwang-chol, wakil kepala Staf Umum Tentara Korea Utara, bertemu dengan mitranya dari Rusia, Andrei Kartapolov, wakil kepala Staf Umum dan direktur Biro Operasi Umum Angkatan Bersenjata Federasi Rusia.
No berkunjung ke Rusia bersama Choe Ryong-hae, anggota Presidium Biro Politik dan sekretaris Komite Pusat Partai Pekerja Korea.  Choe dan No ditemani oleh Wakil Menteri Pertama Luar Negeri Kim Kye-gwan dan Duta Besar untuk Rusia Kim Hyun-joon.
“Kedua belah pihak banyak bertukar pandang soal bagaimana meningkatkan tahap pertemanan dan kerja sama di antara kedua tentara kedua negara,” kata KCNA dalam sebuah kiriman berita dari Moskow.
KTT Kim-Putin mungkin terjadi
Wakil Menteri Ekonomi Korea Utara Ri Kwang-gun dan Alexander Galushka, menteri Rusia untuk pengembangan Timur Jauh Rusia, membahas langkah-langkah untuk meningkatkan kerja sama di antara kedua negara dalam bidang ekonomi dan niaga, kata KCNA.
Dalam pembicaraan paralel, Choe bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov pada 20 November, setelah Choe bertemu dengan Presiden Putin.
“Lavrov dikutip mengatakan kepada Choe bahwa Moskow siap untuk ‘periemuan tingkat tertinggi’ dengan Pyongyang, yang mengindikasikan kemungkinan konferensi tingkat tinggi antara Putin dengan Kim, pemimpin Korut,” Kantor Berita Yonhap dari Korea Selatan melaporkan .
Selama hampir tiga tahun berkuasa, Kim secara konsisten telah menunjukkan keengganan untuk meninggalkan negara yang diperintahnya tangan besi itu, mungkin karena takut akan adanya kudeta ketika ia pergi.  Namun, dia mengirim ke Moskow tangan kanan kepercayaannya, Choe, yang pernah menjalankan tugas sebagai utusannya ke Beijing.
Kunjungan itu dilakukan karena pemerintahan Kim gagal dalam upaya menghindari pemungutan suara oleh Komite Ketiga Majelis Umum PBB.
Putin ingin promosikan Rusia
Seperti sudah diperkirakan dengan adanya indikasi meningkatnya dukungan bagi Pyongyang, Rusia menyerang resolusi PBB bersejarah yang mengutuk pelanggaran HAM Korea Utara dan berjanji akan meningkatkan hubungan ekonomi dengan Korea Utara.
“Rusia, yang sangat ingin mempromosikan diri sebagai negosiator yang mampu berurusan dengan apa yang disebut sebagai rezim paria, sendirinya sedang menghadapi tekanan dari Amerika Serikat dan Uni Eropa atas dukungannya kepada para separatis di Ukraina bagian timur,” Channel News Asia melaporkan.
Charles W. Freeman Jr., salah satu ketua Yayasan Kebijaksanaan AS-Tiongkok dan direktur tetap Dewan Atlantik di Washington, DC, mengamini penilaian itu.
“Upaya Pyongyang untuk menjangkau Rusia saat ini adalah tindakan putus asa yang mencerminkan keterasingannya.  Hal ini juga menjadi tanda kekaguman Korea Utara terhadap Vladimir Putin yang nyatanya dapat diandalkan sebagai penyokong anak-anak didik yang putus asa seperti Suriah,” kata Freeman kepada Forum Pedrtahanan Asia Pasifik [APDF].
“Mengapa Rusia ingin menghabiskan waktu bersenang-senang dengan rezim nakal dan tak menarik di Korea Utara?  Mereka tak mampu menahan diri,” kata Freeman.  “Setelah kehilangan sebuah kekaisaran dan sebagian besar kekuatannya dalam urusan dunia, Rusia sedang mencari penggemar asing dan pertalian.  Sebuah hubungan dengan Pyongyang yang diperbarui mungkin akan memberikan Moskow sesuatu yang mirip dengan dua hal tersebut.”
Beberapa ahli berspekulasi Choe dikirim ke Rusia guna memastikan Rusia akan menentang resolusi PBB.  Resolusi tersebut diloloskan melalui pemungutan suara pada 18 November oleh Komite Ketiga PBB, dengan 111 negara mendukung, 19 menentang, dan 55 negara abstain, dilaporkan NK News.org.
Bersama dengan Tiongkok, Rusia menentang resolusi itu, yang meletakkan dasar untuk memojokkan rezim Pyongyang atas kejahatan terhadap kemanusiaan.  Langkah tak terikat ini akan maju ke pemungutan suara di hadapan sidang pleno Majelis Umum bulan depan, kata Channel News Asia.
Rusia ingin memperluas hubungan ekonomi dengan Korea Utara dan mengincar proyek senilai sekira USD 25 miliar untuk merombak total jaringan jalur relnya dengan imbalan akses terhadap sumber daya mineralnya, tulis AFP.
Negara berbatasan ingin hubungkan jalur rel
Setelah pertemuannya dengan Choe, Lavrov mengatakan kedua negara, yang berbagi perbatasan, ingin menghubungkan jaringan jalur rel Trans-Siberia dengan jaringan jalur rel Trans-Korea, lapor AFP.
Korea Utara siap untuk berperan serta dalam proyek energi trilateral dengan Rusia dan Korea Selatan, dan penanam modal dari Korea Selatan, Tiongkok, dan Mongolia berminat, menurut Lavrov.  "Hubungan niaga dan ekonomi kami memasuki tahap baru,” katanya seperti dikutip oleh AFP.
Analis Korea Utara Andrei Lankov berkata kepada NK News.org bahwa kunjungan Choe ke Moskow harus dipahami dalam konteks yang lebih luas yaitu menghangatkan hubungan Moskow-Pyongyang.
“Rusia yakin bahwa Amerika sedang membantu musuh mereka di Ukraina, jadi mereka membantu musuh Amerika di Pyongyang,” katanya.
Korea Utara juga ingin menggandeng Rusia sebagai jalan untuk mendeklarasikan kebebasannya dari Beijing, kata Freeman kepada APDF.
“Sejak akhir Perang Dingin, Korea Utara tidak nyaman dengan ketergantungannya pada Tiongkok.  Mereka mencoba – dengan kekikukannya yang khas – untuk berbelanja sendiri ke Amerika Serikat.  Negera itu benar-benar meninyinggung Tiongkok dengan pembangkannya dalam membangun program nuklir dan tindakannya yang mendestabilisasi Semenanjung Korea,” kata Freeman.


Credit APDForum