MOSKOW
- Turki sudah meneken kontrak pembelian sistem pertahanan rudal S-400
Rusia. Namun, pemerintah Presiden Tayyip Erdogan mengisyaratkan untuk
membeli juga sistem pertahanan rudal Patriot Amerika Serikat (AS).
Para ahli menilai Ankara sedang memainkan trik memanfaatkan konflik antara Washington dan Moskow.
Nikita Danyuk, wakil direktur Institute for Strategic Studies and Predictions yang berbasis di Moskow mengatakan memegang negosiasi dengan beberapa mitra dagang secara bersamaan sejalan dengan taktik Presiden Erdogan untuk menggunakan kesepakatan senjata sebagai alat tawar-menawar.
"Mencari kepemimpinan di Timur Tengah, Turki mencoba menggunakan konflik antara negara-negara kuat seperti AS dan Rusia untuk kepentingannya sendiri," katanya kepada Russia Today, yang dilansir Sabtu (24/11/2018).
"Dengan menjajaki kesepakatan itu, ada kemungkinan bahwa Erdogan ingin mendorong Moskow untuk memberikan konsesi tertentu dalam hal kerja sama militer," ujar analis tersebut.
Seperti diketahui, negara-negara yang membeli senjata dari Moskow berisiko terkena sanksi AS di bawah undang-undangnya yang bernama Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA). Untuk menghindari sanksi itu, kata Danyuk, Turki kemungkinan bersedia mengambil kesempatan untuk membeli sistem rudal AS.
Dia menambahkan bahwa Erdogan mungkin mengharapkan kesepakatan yang mungkin untuk menghalangi Presiden Donald Trump menekan Turki dalam memotong hubungan ekonominya dengan Iran.
Peneliti kebijakan luar negeri Rusia, Konstantin Truyevtsev, mengatakan bahwa Ankara berharap untuk menggeser kebijakan AS pada Kurdi Suriah dan bahkan membujuk Washington untuk menyerahkan pembangkang Turki Fethullah Gulen, yang oleh Erdogan dituduh mendalangi upaya kudeta 2016.
"Turki membuat isyarat niat baik, mengharapkan AS untuk mengubah pendiriannya terhadap Kurdi di Suriah. AS menghadapi dilema; terus mendukung Kurdi atau membiarkan Erdogan menghancurkan otonomi mereka," katanya.
Pentagon selama ini telah membantu kelompok paramiliter YPG Kurdi di Suriah utara dengan senjata dan pelatihan. Ankara menganggap YPG sebagai organisasi teroris dan meluncurkan beberapa operasi militer terhadap milisi Kurdi.
Truyevtsev, yang bekerja di Institute of Oriental Studies of the Russian Academy of Sciences Rusia, berpendapat bahwa Presiden Erdogan tidak mungkin berhasil mengubah strategi AS di kawasan itu, tetapi dia akan terus berusaha.
Para ahli menilai Ankara sedang memainkan trik memanfaatkan konflik antara Washington dan Moskow.
Nikita Danyuk, wakil direktur Institute for Strategic Studies and Predictions yang berbasis di Moskow mengatakan memegang negosiasi dengan beberapa mitra dagang secara bersamaan sejalan dengan taktik Presiden Erdogan untuk menggunakan kesepakatan senjata sebagai alat tawar-menawar.
"Mencari kepemimpinan di Timur Tengah, Turki mencoba menggunakan konflik antara negara-negara kuat seperti AS dan Rusia untuk kepentingannya sendiri," katanya kepada Russia Today, yang dilansir Sabtu (24/11/2018).
"Dengan menjajaki kesepakatan itu, ada kemungkinan bahwa Erdogan ingin mendorong Moskow untuk memberikan konsesi tertentu dalam hal kerja sama militer," ujar analis tersebut.
Seperti diketahui, negara-negara yang membeli senjata dari Moskow berisiko terkena sanksi AS di bawah undang-undangnya yang bernama Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA). Untuk menghindari sanksi itu, kata Danyuk, Turki kemungkinan bersedia mengambil kesempatan untuk membeli sistem rudal AS.
Dia menambahkan bahwa Erdogan mungkin mengharapkan kesepakatan yang mungkin untuk menghalangi Presiden Donald Trump menekan Turki dalam memotong hubungan ekonominya dengan Iran.
Peneliti kebijakan luar negeri Rusia, Konstantin Truyevtsev, mengatakan bahwa Ankara berharap untuk menggeser kebijakan AS pada Kurdi Suriah dan bahkan membujuk Washington untuk menyerahkan pembangkang Turki Fethullah Gulen, yang oleh Erdogan dituduh mendalangi upaya kudeta 2016.
"Turki membuat isyarat niat baik, mengharapkan AS untuk mengubah pendiriannya terhadap Kurdi di Suriah. AS menghadapi dilema; terus mendukung Kurdi atau membiarkan Erdogan menghancurkan otonomi mereka," katanya.
Pentagon selama ini telah membantu kelompok paramiliter YPG Kurdi di Suriah utara dengan senjata dan pelatihan. Ankara menganggap YPG sebagai organisasi teroris dan meluncurkan beberapa operasi militer terhadap milisi Kurdi.
Truyevtsev, yang bekerja di Institute of Oriental Studies of the Russian Academy of Sciences Rusia, berpendapat bahwa Presiden Erdogan tidak mungkin berhasil mengubah strategi AS di kawasan itu, tetapi dia akan terus berusaha.
Ahli
militer Aleksey Leonkov mengatakan oposisi AS bukan satu-satunya titik
lemah Erdogan dalam memainkan trik tawar-menawar bisnis senjata.
Menurutnya, akan sulit untuk membuat sistem rudal Patriot kompatibel
dengan S-400 buatan Rusia, jika Turki memutuskan untuk menyebarkan
keduanya.
"Ini diragukan bahwa rudal Patriot dapat berintegrasi dalam satu sistem kontrol dengan S-400," katanya. "AS tidak akan mengizinkannya, karena khawatir teknologi yang sangat rahasia akan bocor ke Moskow."
Isyarat Ankara untuk membeli sistem pertahanan rudal Patriot AS disampaikan Juru bicara Presiden Erdogan beberapa waktu lalu. "Turki tidak harus memenuhi kebutuhannya dari satu sumber, karena Turki adalah negara besar," kata juru bicara Erdogan.
"Ini diragukan bahwa rudal Patriot dapat berintegrasi dalam satu sistem kontrol dengan S-400," katanya. "AS tidak akan mengizinkannya, karena khawatir teknologi yang sangat rahasia akan bocor ke Moskow."
Isyarat Ankara untuk membeli sistem pertahanan rudal Patriot AS disampaikan Juru bicara Presiden Erdogan beberapa waktu lalu. "Turki tidak harus memenuhi kebutuhannya dari satu sumber, karena Turki adalah negara besar," kata juru bicara Erdogan.
Credit sindonews.com