Selasa, 04 September 2018

Sanksi Ekonomi Trump: Bumerang yang Siap Hancurkan AS



Sanksi Ekonomi Trump: Bumerang yang Siap Hancurkan AS
Presiden AS Donald Trump (REUTERS/Leah Millis)



Jakarta, CB -- Setahun lebih menjabat di Gedung Putih, Presiden Donald Trump dianggap terlalu agresif menggunakan kewenangan Amerika Serikat menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap negara asing.

Sepanjang 2017, Kementerian Keuangan AS tercatat telah memasukkan 1.000 entitas seperti individu, perusahaan, hingga negara asing ke dalam daftar hitamnya.

Jumlah tersebut lebih besar 30 persen jika dibandingkan sanksi yang pernah diterapkan pemerintahan Barack Obama di masa akhir jabatannya.


Mulai dari Kuba, Venezuela, Korea Utara, Iran, China, hingga sekutunya sendiri, seperti Turki, terkena dampak sanksi dan kebijakan ekonomi Amerika yang semakin proteksionis di bawah kepemimpinan Trump.



Penerapan kebijakan sanksi ini dianggap berlebihan. Trump dinilai menjadikan sanksi ekonomi dan peningkatan tarif perdagangan sebagai "senjata politik" untuk meraih keinginannya agar AS mendapat keuntungan terbesar dari semua konsensi yang ada.

"Sanksi ekonomi memang salah satu senjata Amerika juga negara lain yang sudah lama digunakan dalam hubungan antar-negara. Tapi memang (penerapan sanksi ekonomi AS di bawah pemerintahan Trump) keterlaluan, termasuk kebijakannya terhadap Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa," kata Guru Besar Emeritus Ilmu Politik Ohio State University, William Liddle, kepada CNNIndonesia.com.

Liddle menganggap pendekatan Trump dengan sanksi dan perang tarif bersifat dangkal. Ia menilai ini hanya semakin menggambarkan ketidakpahaman Trump dan para penasihatnya terkait manfaat yang selama ini didapat AS melalui perjanjian kerja sama internasional.

"Kebijakan negara-negara yang selama ini diserang AS dengan sanksi dan kebijakan ekonominya itu sebenarnya tidak salah dan tidak merugikan kepentingan Amerika, kecuali dalam khayalan Trump sendiri," ucap Liddle.

Liddle mengatakan bahwa sanksi memang dianggap sebagai salah satu alat "yang menggiurkan" dalam politik luar negeri lantaran berbiaya murah jika dibandingkan dengan opsi militer seperti perang.

Penerapan sanksi ekonomi tidak memerlukan pemberitahuan lebih dulu, peninjauan hukum, dan juga tidak menimbulkan kerusakan fisik secara langsung.

Jika berbicara hasil, sanksi ekonomi pun dirasa lebih cepat berdampak daripada opsi militer karena langsung menyasar kebutuhan finansial suatu entitas.

Dalam hal ini, sanksi AS dianggap menjadi yang paling kuat di dunia lantaran mata uang dolar menjadi acuan di hampir seluruh transaksi internasional, mulai dari perbankan hingga perdagangan.

Bom waktu kehancuran AS

Meski demikian, penggunaan sanksi ekonomi secara berlebihan oleh AS dikhawatirkan mengurangi efektivitasnya dan malah menjadi bumerang Negeri Paman Sam.

Liddle bahkan menilai Amerika sedang menunggu kehancuran lantaran terlalu mengeksploitasi sanksi finansial dan kebijakan ekonomi proteksionis hanya untuk memuaskan keinginan Trump.

"Amerika sedang menembak kakinya sendiri. Hasilnya kelak adalah semakin banyak negara yang tidak mau bekerja sama dengan Amerika dalam banyak hal, khususnya untuk membendung kebijakan anti-pasar dan anti-asing dari Tiongkok, yang memang merupakan masalah serius," kata Liddle.

"AS memerlukan teman saat ini, sementara kebijakan Trump malah justru menciptakan musuh."

Keputusan AS menerapkan kembali sanksi terhadap Iran dan keluar dari perjanjian nuklir 2015 merupakan salah satu contoh signifikan kegagalan Trump dalam menerapkan sanksi.

Alih-alih membuat Iran menghentikan program rudal balistiknya, pemerintahan Presiden Hassan Rouhani malah menggencarkan pengembangan program senjatanya itu sebagai balasan terhadap AS yang dinilai melanggar janji.

Selain itu, keputusan AS keluar dari The Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) dinilai semakin merenggangkan Washington dengan sekutu, terutama Uni Eropa yang mengecam keputusan tersebut.

"Trump adalah presiden pertama Amerika yang menolak semua organisasi dan persetujuan antar-negara yang dianggapnya merugikan kepentingan AS atau membelenggu tangannya untuk bertindak bebas. Bukan hanya di bidang ekonomi, tapi juga di semua bidang termasuk pertahanan," tutur Liddle.

Menurut Liddle, Amerika kini tak lagi memainkan peran lamanya sebagai salah satu pemimpin dunia.

"Dan hanya kegagalan atau kekalahan Trump yang bisa diharapkan untuk membalikkan keadaan ini," katanya.

Senada dengan Liddle, Dosen Jurusan Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, menganggap sanksi ekonomi sulit diterapkan secara unilateral dalam situasi saat ini.

Teuku menganggap AS mau tak mau harus tetap merangkul negara mitra dan sekutunya untuk bisa menekan negara "pembangkang" secara finansial.

Namun, dengan agresifitas Trump memanfaatkan sanksi, Teuku khawatir kebijakan tersebut lambat laun hanya akan menghancurkan Amerika sendiri.

Sebagai contoh, Teuku mengatakan sudah banyak negara-negara yang tak lagi menganggap dolar sebagai mata uang acuan dalam transaksi internasional. Menurutnya, China sudah lama menggunakan yuan sebagai mata uang acuan dalam transaksi internasionalnya.

Belakangan, Iran dan Turki juga melakukan hal serupa tak lama setelah kedua negara itu diganjar Trump dengan sanksi.

Jika ini terus berlangsung, Teuku menganggap pelan-pelan sanksi AS akan menggerogoti kepemimpinan keuangan Negeri Paman Sam sendiri.

"AS tetap memerlukan sekutu untuk memberlakukan sanksi dan tekanan terhadap negara lain. Sekarang China sudah berselisih dengan AS, Uni Eropa, Jepang, dan Kanada juga. AS musuhi mereka semua. Amerika sekarang menjadi raksasa yang kesepian," kata Teuku.

"Yang terburuk adalah bagaimana jika negara yang ditargetkan sanksi menagih secara serentak utang AS dan menolak adanya renegosiasi? Padahal, di saat bersamaan AS merupakan negara dengan utang terbesar di dunia. Ini yang tak pernah Trump bayangkan."





Credit  cnnindonesia.com