Selasa, 04 September 2018

Erdogan Serukan tak Pakai Dolar dalam Perdagangan



Recep Tayyip Erdogan
Recep Tayyip Erdogan
Foto: EPA

Ketergantungan terhadap dolar berimbas ke ekonomi Turki.



CB, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengusulkan agar tak menggunakan dolar Amerika Serikat (AS) dalam perdagangan, dan memilih memakai lira. Ketergantungan perdagangan internasional pada dolar AS, kata dia, harus diturunkan sebab hal itu berimbas menjadi kendala bagi Turki.

"Kami mengusulkan untuk memperdagangkan mata uang kami sendiri daripada dolar AS," ujar Erdogan pada KTT ke--6 mewakili Dewan Turki di Pusat Kebbudayaan Ruhk Ordo, Kyrgyztan seperti dikutip Andolou Agency, Selasa (4/9).


KTT tersebut diselenggarakan oleh Presiden Kyrgyzstan Sooronbay Jeenbekov di Pusat Kebudayaan Rukh Ordo. Selain presiden Turki, Azerbaijan, Kazakhstan, dan Uzbekistan, perdana menteri Hongaria juga berpartisipasi dalam acara ini sebagai pengamat.

Di KTT, Erdogan mengatakan, Turki dan negara-negara sahabat tidak boleh menunda dalam memerangi organisasi teror fetullah (FETO). Organisasi yang dipimpin Fetullah Gulen mengatur kudeta pada 15 Juli 2016 yang menyebabkan 251 orang menjadi martir dan hampir 2200 orang terluka.

Ankara juga menuduh FETO berada di belakang kampanye utnuk menggulingkan negara melalui iniltrasi Turki, khususnya militer, polisi dan peradilan. Erdogan menambahkan, organisasi teroris telah membentuk struktur organisasi dengan mendirikan institusi pendidikan di seluruh dunia dan juga di Turki.


Ekonomi Turki


Sebelumnya Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Sabtu (25/8) meminta semua rakyatnya memerangi serangan terhadap perekonomian Turki. Saat ini Turki terlibat perselisihan terus-menerus dengan Amerika Serikat (AS). Nilai mata uang Turki, lira anjlo ke level yang terendah.





 





"Tekad rakyat Turki adalah jaminan untuk memerangi serangan terhadap perekonomian Turki," kata Erdogan dalam pernyataan, yang disiarkan untuk memperingati Pertempuran Manzikert pada 1071.


Hubungan Turki dengan AS mengalami keretakan menyangkut penahanan pendeta AS, Andrew Brunson, di Turki. Pada pekan lalu, pengadilan Turki kembali menolak permohonan pembebasan pendeta berusia 50 tahun ini yang dituduh sebagai mata-mata.




Credit  republika.co.id