Jenewa (CB) - Tim penyidik kejahatan perang Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada Rabu menyatakan bahwa serangan udara oleh
koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat terhadap benteng
pertahanan kelompok bersenjata ISIS di Raqqa, Suriah telah memakan
"korban sipil dalam jumlah besar."
Pihak koalisi membombardir kota tersebut sebagai dukungan udara untuk operasi militer darat oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF), sebuah kelompok gabungan milisi Kurdi dan Arab. Mereka memulai serangan untuk membebaskan Raqqa dari ISIS sejak pekan lalu, lapor Reuters.
Pasukan SDF, dengan dukungan serangan udara yang besar, telah berhasil merebut bagian barat, timur, dan utara kota tersebut.
Di sisi lain, kepala komisi penyelidikan kejahatan perang PBB, Paulo Pinheiro, mengatakan kepada Dewan HAM PBB bahwa ada 10 perjanjian antara pemerintah Suriah dan sejumlah kelompok oposisi bersenjata di wilayah Aleppo timur "yang beberapa di antaranya bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang."
Menurut Pinheiro, perjanjian itu membuat warga sipil "tidak mempunyai pilihan" dalam proses mekanisme evakuasi warga sipil dan anggota oposisi bersenjata dari garis depan medan pertempuran.
Pihak koalisi membombardir kota tersebut sebagai dukungan udara untuk operasi militer darat oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF), sebuah kelompok gabungan milisi Kurdi dan Arab. Mereka memulai serangan untuk membebaskan Raqqa dari ISIS sejak pekan lalu, lapor Reuters.
Pasukan SDF, dengan dukungan serangan udara yang besar, telah berhasil merebut bagian barat, timur, dan utara kota tersebut.
Di sisi lain, kepala komisi penyelidikan kejahatan perang PBB, Paulo Pinheiro, mengatakan kepada Dewan HAM PBB bahwa ada 10 perjanjian antara pemerintah Suriah dan sejumlah kelompok oposisi bersenjata di wilayah Aleppo timur "yang beberapa di antaranya bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang."
Menurut Pinheiro, perjanjian itu membuat warga sipil "tidak mempunyai pilihan" dalam proses mekanisme evakuasi warga sipil dan anggota oposisi bersenjata dari garis depan medan pertempuran.
Credit antaranews.coma