Yangon, Myanmar (CB) - Chit Tin, pria Muslim berusia 55
tahun, telah beribadah di madrasah yang sama di Yangon timur sepanjang
hidupnya, sebagian besar di bawah junta yang menekan oposisi,
menghancurkan ekonomi Myanmar dan mengubahnya menjadi negara pariah
internasional
Tapi bahkan saat ayah dari empat anak itu menderita kemiskinan dan isolasi, sekolah agama Islam, yang berfungsi ganda sebagai masjid, itu tetap menjadi tempat penting komunitasnya - sampai bulan yang lalu, ketika kelompok nasionalis Buddha menggerebek dan memaksa pihak berwenang untuk menutupnya dengan alasan tidak memiliki izin untuk beroperasi sebagai tempat ibadah.
Saat Ramadhan, bulan suci umat Islam, dimulai sekitar tiga pekan lalu, ratusan warga menerjang hujan musim hujan untuk bergabung dengan ibadah bersama di suatu jalan di dekatnya.
Pemerintah setempat melarang acara tersebut dan mengancam mereka yang hadir dipenjara.
"Saya merasa sangat sedih, seolah langit telah runtuh," kata Chit Tin, salah satu dari sedikit umat Islam dari lingkungan sekitar yang setuju untuk berbicara dengan Reuters. Kebanyakan warga menolak untuk membicarakan pembatasan, mengatakan bahwa mereka takut akan dampaknya.
Salah satu anggota komunitas pemuda, Moe Zaw, sekarang terancam denda atau enam bulan penjara karena tidak mendapatkan izin untuk menyelenggarakan acara ibadah itu, sesuai dengan pemberitahuan yang dia terima dari pengadilan
Penutupan sekolah agama termasuk di antara rangkaian insiden yang memicu ketegangan agama di ibu kota komersial negara tersebut dalam beberapa pekan terakhir.
Meskipun beberapa kelompok garis keras Buddha yang terlibat ditangkap, pemantau hak asasi manusia mengatakan kejadian tersebut menunjukkan bagaimana pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi yang telah berumur 14 bulan berjuang untuk mengatasi diskriminasi terhadap umat Islam.
Partai berkuasa Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) tidak melibatkan kandidat muslim manapun pada pemilihan umum 2015 yang bersejarah yang mengangkatnya ke kekuasaan atas janji modernisasi negara dan demokratisasi.
Ketegangan antara kedua komunitas itu telah muncul sejak tewasnya sejumlah orang dan puluhan ribu orang mengungsi dalam bentrokan antara umat Buddha dan umat Islam yang menyertai permulaan transisi demokrasi negara itu pada tahun 2012 dan 2013.
"Masjid dan madrasah yang telah ditutup paksa harus segera dibuka kembali, dan penganut agama harus tidak terancam atau dikenakan tuduhan kriminal hanya karena menjalankan hak fundamental mereka untuk mengikuti dan mempraktekkan agama mereka, " kata Phil Robertson dari pemantau kelompok hak asasi manusia Human Rights Watch.
Pemerintah lokal menolak permintaan komentar berulang kali. Juru bicara pemerintah Myanmar tidak bersedia memberikan komentar, dan dua pejabat pemerintah lainnya yang dihubungi oleh Reuters juga menolak untuk berkomentar.
Tak Ada Jawaban
Madrasah itu, yang dibuka hampir setengah abad yang lalu, biasanya menarik sekitar 1.000 orang pada Jumat malam. Sekitar 300 anak-anak berusia antara lima dan 12 tahun belajar Islam di sana setiap harinya.
Bangunan dua lantai itu sekarang ditutup oleh kawat berduri dan gerbang terkunci.
"Anak-anak hendak mengikuti ujian, jadi kami merasa ini sebuah kehilangan sangat besar dalam pendidikan mereka, "kata Chit Tin, yang memiliki dua cucu berusia enam tahun yang mulai bersekolah di madrasah setahun yang lalu.
Dia sekarang beribadah di masjid lain yang berjarak sekitar 20 menit berjalan kaki, dimana jumlah jamaah telah membengkak dari 5.000 menjadi 8.000 dalam beberapa pekan terakhir karena penutupan madrasahnya dan tempat terdekat lainnya yang juga menjadi target oleh kelompok nasionalis Buddha.
Di kota Meikhtila, 500 km (310 mil) utara Yangon di Myanmar tengah, tiga rumah pribadi yang telah digunakan oleh sekitar 150 orang untuk shalat sejak masjid di kota itu hancur dalam aksi kekerasan tahun 2013 juga diperintahkan untuk ditutup oleh pemerintah lokal.
Polisi telah berpatroli di lingkungan tersebut sejak pekan lalu, memeriksa apakah rumah itu masih ditutup dan apakah jumlah ibadah telah berkurang selama Ramadhan.
"Oleh karena pihak berwenang tidak lagi mengizinkan kami beribadah, kami mengatur tempat yang layak untuk kami," kata akademisi Islam dan sekretaris kelompok lokal antar-agama San Win Shein kepada Reuters. "Tidak ada jawaban hingga kini."
Tapi bahkan saat ayah dari empat anak itu menderita kemiskinan dan isolasi, sekolah agama Islam, yang berfungsi ganda sebagai masjid, itu tetap menjadi tempat penting komunitasnya - sampai bulan yang lalu, ketika kelompok nasionalis Buddha menggerebek dan memaksa pihak berwenang untuk menutupnya dengan alasan tidak memiliki izin untuk beroperasi sebagai tempat ibadah.
Saat Ramadhan, bulan suci umat Islam, dimulai sekitar tiga pekan lalu, ratusan warga menerjang hujan musim hujan untuk bergabung dengan ibadah bersama di suatu jalan di dekatnya.
Pemerintah setempat melarang acara tersebut dan mengancam mereka yang hadir dipenjara.
"Saya merasa sangat sedih, seolah langit telah runtuh," kata Chit Tin, salah satu dari sedikit umat Islam dari lingkungan sekitar yang setuju untuk berbicara dengan Reuters. Kebanyakan warga menolak untuk membicarakan pembatasan, mengatakan bahwa mereka takut akan dampaknya.
Salah satu anggota komunitas pemuda, Moe Zaw, sekarang terancam denda atau enam bulan penjara karena tidak mendapatkan izin untuk menyelenggarakan acara ibadah itu, sesuai dengan pemberitahuan yang dia terima dari pengadilan
Penutupan sekolah agama termasuk di antara rangkaian insiden yang memicu ketegangan agama di ibu kota komersial negara tersebut dalam beberapa pekan terakhir.
Meskipun beberapa kelompok garis keras Buddha yang terlibat ditangkap, pemantau hak asasi manusia mengatakan kejadian tersebut menunjukkan bagaimana pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi yang telah berumur 14 bulan berjuang untuk mengatasi diskriminasi terhadap umat Islam.
Partai berkuasa Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) tidak melibatkan kandidat muslim manapun pada pemilihan umum 2015 yang bersejarah yang mengangkatnya ke kekuasaan atas janji modernisasi negara dan demokratisasi.
Ketegangan antara kedua komunitas itu telah muncul sejak tewasnya sejumlah orang dan puluhan ribu orang mengungsi dalam bentrokan antara umat Buddha dan umat Islam yang menyertai permulaan transisi demokrasi negara itu pada tahun 2012 dan 2013.
"Masjid dan madrasah yang telah ditutup paksa harus segera dibuka kembali, dan penganut agama harus tidak terancam atau dikenakan tuduhan kriminal hanya karena menjalankan hak fundamental mereka untuk mengikuti dan mempraktekkan agama mereka, " kata Phil Robertson dari pemantau kelompok hak asasi manusia Human Rights Watch.
Pemerintah lokal menolak permintaan komentar berulang kali. Juru bicara pemerintah Myanmar tidak bersedia memberikan komentar, dan dua pejabat pemerintah lainnya yang dihubungi oleh Reuters juga menolak untuk berkomentar.
Tak Ada Jawaban
Madrasah itu, yang dibuka hampir setengah abad yang lalu, biasanya menarik sekitar 1.000 orang pada Jumat malam. Sekitar 300 anak-anak berusia antara lima dan 12 tahun belajar Islam di sana setiap harinya.
Bangunan dua lantai itu sekarang ditutup oleh kawat berduri dan gerbang terkunci.
"Anak-anak hendak mengikuti ujian, jadi kami merasa ini sebuah kehilangan sangat besar dalam pendidikan mereka, "kata Chit Tin, yang memiliki dua cucu berusia enam tahun yang mulai bersekolah di madrasah setahun yang lalu.
Dia sekarang beribadah di masjid lain yang berjarak sekitar 20 menit berjalan kaki, dimana jumlah jamaah telah membengkak dari 5.000 menjadi 8.000 dalam beberapa pekan terakhir karena penutupan madrasahnya dan tempat terdekat lainnya yang juga menjadi target oleh kelompok nasionalis Buddha.
Di kota Meikhtila, 500 km (310 mil) utara Yangon di Myanmar tengah, tiga rumah pribadi yang telah digunakan oleh sekitar 150 orang untuk shalat sejak masjid di kota itu hancur dalam aksi kekerasan tahun 2013 juga diperintahkan untuk ditutup oleh pemerintah lokal.
Polisi telah berpatroli di lingkungan tersebut sejak pekan lalu, memeriksa apakah rumah itu masih ditutup dan apakah jumlah ibadah telah berkurang selama Ramadhan.
"Oleh karena pihak berwenang tidak lagi mengizinkan kami beribadah, kami mengatur tempat yang layak untuk kami," kata akademisi Islam dan sekretaris kelompok lokal antar-agama San Win Shein kepada Reuters. "Tidak ada jawaban hingga kini."
Credit antaranews.com