Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof KH Ma'ruf Amin mengatakan rekomendasi tersebut dicabtumkan dalam fatwa tersebut agar ada ketegasan dari pemerintah. "Kami juga membuat rekomendasi supaya fatwa ini ada semacam tindak lanjut, supaya ada perundang-undangan yang dibuat oleh DPR dan pemerintah," ujarnya saat meluncurkan fatwa tersebut di Ruangan Serbaguna, Kementerian Kominfo, Jakarta Pusat, Senin (5/6).
Berikut enam rekomendasi MUI terkait konten negatif di media sosial.
1. Pemerintah dan DPR-RI perlu merumuskan peraturan perundang-undangan untuk mencegah konten informasi yang bertentangan dengan norma agama, keadaban, kesusilaan, semangat persatuan dan nilai luhur kemanusiaan.
2. Masyarakat dan pemangku kebijakan harus memastikan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi didayagunakan untuk kepentingan kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan.
3. Pemerintah perlu meningkatkan upaya mengedukasi masyarakat untuk membangun literasi penggunaan media digital, khususnya media sosial dan membangun kesadaran serta tanggung jawab dalam mewujudkan masyarakat berperadaban (mutamaddin).
4. Para ulama dan tokoh agama harus terus menyosialisasikan penggunaan media sosial secara bertanggung jawab dengan mendorong pemanfaatannya untuk kemaslahatan umat dan mencegah mafsadat yang ditimbulkan.
5. Masyarakat perlu terlibat secara lebih luas dalam memanfaatkan media sosial untuk kemaslahatan umum.
6. Pemerintah perlu memberikan teladan untuk menyampaikan informasi yang benar, bermanfaat, dan jujur kepada masyarakat agar melahirkan kepercayaan dari publik.
Credit REPUBLIKA.CO.ID
MUI Haramkan Buzzer di Media Sosial
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni'am Sholeh mengatakan, satu
dari sembilan poin ketentuan hukum tersebut adalah setiap muslim yang
bermualamah di media sosial diharamkan untuk melakukan buzzer.
"Buzzer yang diharamkan itu ada di poin sembilan," ujar Asrorun saat dikonfirmasi Republika, Selasa (6/6).
Dalam poin sembilan, fatwa MUI menyebutkan, aktivitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah atau mengadu domba, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram.
"Aktivitas buzzer bayaran yang eksploitasi hoax, hukumnya haram," ujar Asrorun.
Ketentuan hukum fatwa bernomor 24 tahun 2017 itu juga mengatur hukum haram ini juga berlaku orang-orang yang terlibat dalam penyebaran informasi buruk itu. "Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya," kata Asrorun.
Komisi Fatwa MUI menetapkan Fatwa tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Fatwa itu ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin dan Sekretaris Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh pada 13 Mei 2017.
Ada sembilan poin dalam ketentuan hukum fatwa tersebut. Selain terkait aktivitas buzzer, delapan poin lainnya terkait kewajiban ketika bermualamah di media sosial.
MUI juga melarang Muslim melakukan ghibah, fitnah, namimah, penyebaran permusuhan, bullying, dan ujaran kebencian. Termasuk menyebarkan hoax dan materi pornografi.
Ketua MUI Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin mengatakan ada sebuah kaidah yang menyatakan bahwa ghibah dalam terjadi dalam bentuk tulisan. "Ya saya kira ghibah itu baik dalam verbal maupun dalam bentuk tulisan," kata dia.
Kiai Ma'ruf berharap fatwa ini bermanfaat. Dia juga mendorong ketegasan dari pemerintah untuk menangani kasus berbasis media sosial.
Melalui fatwa tersebut, MUI juga berharap kedepannya ada edukasi terhadap masyarakat. "Ada edukasi terhadap masyarakat tetapi juga harus ada tindakan, sanksi kepada masyarakat," kata Kiai Ma'ruf.
"Buzzer yang diharamkan itu ada di poin sembilan," ujar Asrorun saat dikonfirmasi Republika, Selasa (6/6).
Dalam poin sembilan, fatwa MUI menyebutkan, aktivitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah atau mengadu domba, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram.
"Aktivitas buzzer bayaran yang eksploitasi hoax, hukumnya haram," ujar Asrorun.
Ketentuan hukum fatwa bernomor 24 tahun 2017 itu juga mengatur hukum haram ini juga berlaku orang-orang yang terlibat dalam penyebaran informasi buruk itu. "Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya," kata Asrorun.
Komisi Fatwa MUI menetapkan Fatwa tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Fatwa itu ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin dan Sekretaris Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh pada 13 Mei 2017.
Ada sembilan poin dalam ketentuan hukum fatwa tersebut. Selain terkait aktivitas buzzer, delapan poin lainnya terkait kewajiban ketika bermualamah di media sosial.
MUI juga melarang Muslim melakukan ghibah, fitnah, namimah, penyebaran permusuhan, bullying, dan ujaran kebencian. Termasuk menyebarkan hoax dan materi pornografi.
Ketua MUI Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin mengatakan ada sebuah kaidah yang menyatakan bahwa ghibah dalam terjadi dalam bentuk tulisan. "Ya saya kira ghibah itu baik dalam verbal maupun dalam bentuk tulisan," kata dia.
Kiai Ma'ruf berharap fatwa ini bermanfaat. Dia juga mendorong ketegasan dari pemerintah untuk menangani kasus berbasis media sosial.
Melalui fatwa tersebut, MUI juga berharap kedepannya ada edukasi terhadap masyarakat. "Ada edukasi terhadap masyarakat tetapi juga harus ada tindakan, sanksi kepada masyarakat," kata Kiai Ma'ruf.
Credit REPUBLIKA.CO.ID