LITENING Pod sendiri merupakan pod sensor yang dikembangkan oleh perusahaan teknologi militer Rafael dari Israel, dan telah diadopsi oleh Northrop Grumman sebagai lini dari produk yang ditawarkan untuk integrasi dengan pesawat tempur generasi 3 ke atas. Korps Marinir AS merupakan kecabangan pertama di Angkatan Bersenjata AS yang menggunakan AN/AAQ-28(V) LITENING II yang diintegrasikan ke pesawat serang AV-8B Harrier II pada 2001.
LITENING lahir dari tantangan alam yang harus dihadapi oleh pilot pesawat tempur. Pilot seringkali harus beroperasi dalam kondisi cuaca yang tidak ideal, namun tuntutan misi, khususnya misi pemboman harus dilakukan pada saat itu juga. Jangankan bisa presisi, energi pilot jauh terkuras bila setiap waktu harus memperhatikan sekitar pesawat dan panel indikator saat jarak pandang minim akibat cuaca buruk. Selain cuaca, kondisi sasaran yang harus dibom seringkali dikelilingi oleh aset sipil, sehingga harus dicari cara untuk memastikan bahwa titik yang dibom benar-benar akurat.
LITENING sendiri dihadirkan sebagai pod sensor pertama yang menggabungkan antara kemampuan penginderaan berbasis teknologi IR (Infra Red), navigasi, dan pemandu bom pintar ke sasaran, yang didesain untuk memampukan pesawat pembawanya beroperasi siang dan malam. LITENING menggabungkan sistem FLIR (Forward Looking Infra Red), laser designator, laser spot designator, navigasi berbasis GPS, dan kamera dengan sensor CCD (Charged Coupled Device) resolusi tinggi.
Gabungan tiga sensor ini memampukan pesawat tempur untuk mengenali sasaran darat dari ketinggian 40.000 kaki dan menyorotnya dengan laser pengarah sehingga bom berpemandu laser bisa mengikuti tuntunan laser tersebut. Tak hanya laser dari pesawat tempur pembopong, LITENING juga dapat mengenali sorotan sinar laser (laser spot designator) yang ditembakkan oleh pasukan khusus, sehingga pesawat dengan LITENING dapat mengantarkan serangan presisi yang menjadi tipikal operasi pasukan khusus.
Saat membidik sasaran yang sudah dikunci, sinar laser akan ditembakkan dan distabilisasi oleh giroskop yang menjejak sasaran secara terus-menerus. Pilot cukup menerbangkan pesawat dalam cakupan kemampuan putar sensor sampai bom berpemandu laser dilepaskan dan mengenai sasaran.
Yang menyenangkan, LITENING menyediakan tiga FoV (Fields of View) atau moda tampilan, lebar, sedang, dan sempit sesuai kegunaan. Tampilan dari tangkapan sensor kamera atau FLIR disajikan langsung ke salah satu display MFD (Multi Function Display) yang ada pada panel kokpit. FoV lebar dapat digunakan untuk scanning permukaan darat dan udara, sedang dan sempit dapat digunakan apabila sasaran di darat telah diperoleh dan sedang dijejak untuk misi pengeboman.
Karena sensor pada LITENING juga dapat diputar, maka kamera FLIR dapat diarahkan ke depan untuk fungsi sekunder menjejak emisi panas dari exhaust pesawat lawan yang tengah terbang, sehingga deteksi dapat dilakukan secara pasif tanpa menyalakan radar, jika diinginkan.
Sejauh ini, Northrop Grumman sudah mengembangkan beberapa varian LITENING, mulai dari LITENING II/ER (resolusi kamera lebih tinggi)/AT (jarak deteksi lebih jauh dan sistem datalink yang lebih fleksibel), LITENING G4 dengan jarak pengenalan dan kualitas gambar dengan prosesor dan sensor yang lebih baik.
Mengenai versi mana yang akan dipilih oleh TNI AU, kita masih harus menebak-nebak karena rilis DSCA sendiri menyebutkan bahwa masih ada kemungkinan dimana TNI AU dapat mengadopsi LITENING atau Sniper Pod. Kita tunggu saja realisasinya, sambil menunggu kisah pilot TNI AU yang beradu ilmu dengan pilot USMC yang menggunakan LITENING Pod.
Credit Angkasa.co.id