Kamis, 02 Juni 2016

Menlu Kabinet Duterte: Filipina Tak Akan Jadi Antek Asing

 
Menlu Kabinet Duterte: Filipina Tak Akan Jadi Antek Asing  
Filipina memang kerap dekat dengan Washington, membuat hubungan dengan China merenggang, terlihat dari sejumlah latihan militer kerap dilakukan kedua negara. (Reuters/Erik De Castro)
 
Jakarta, CB -- Perfecto Yasay, tokoh yang akan menjabat sebagai menteri luar negeri dalam kabinet Presiden terpilih Filipina Rodrigo Duterte, menyatakan negaranya tidak akan menjauhkan diri dari sekutu lama mereka Amerika Serikat. Namun, Yasay menegaskan bahwa Filipina tidak akan menjadi antek untuk negara lain.

Dalam wawancaranya dengan Reuters, pria yang berprofesi sebagai pengacara ini berusaha untuk menggarisbawahi kemerdekaan Filipina dalam menangani sengketa wilayah dengan China di Laut China Selatan.

"Kita tidak harus menjadi antek bangsa manapun," kata Yasay di Manila, Rabu (1/6), sehari setelah Duterte mengumumkan kabinetnya.


Di bawah kepemimpinan presiden petahana, Benigno Aquino, Filipina memang kerap dekat dengan Washington, membuat hubungan dengan China merenggang. Sejumlah latihan militer kerap dilakukan kedua negara, dan beberapa perjanjian pertahanan disepakati.

Yasay menilai bahwa hubungan dengan China harus ditingkatkan.

"Selama (China) mematuhi aturan hukum, menghormati integritas teritorial dan kedaulatan, kita harus terus memastikan bahwa persahabatan dan hubungan kami akan menjadi lebih kuat," katanya.

Sebelumnya, Duterte menyatakan bahwa di bawah kepemimpinannya Filipina tidak akan bergantung pada AS yang telah lama menjadi sekutu dekat negaranya.

Pernyataan Duterte ini memberikan sinyal Manila tak akan bergantung lagi pada Washington, utamanya dalam berurusan dengan Beijing terkait sengketa wilayah di Laut China Selatan.

"Dia hanya mengartikulasikan posisi kami bahwa, menurut konstitusi, kami seharusnya membawa kebijakan luar negeri yang independen," komentar Yasay terkait pernyataan Duterte tersebut.

Yasay menambahkan bahwa Duterte akan menghormati perjanjian yang sudah disepakati dengan Amerika Serikat, termasuk Perjanjian Kerja Sama Pertahanan Canggih yang memungkinkan peningkatan akses bagi pasukan AS untuk memasuki ke markas lokal.

Presiden AS, Barack Obama, sudah menelpon Duterte pada 17 Mei lalu untuk mengucapkan selamat atas kemenangannya dalam pemilu.

"Itu indikasi yang sangat kuat bahwa persahabatan kami dengan Amerika tidak akan terpengaruh, dan [hubungan ini] juga tidak akan terpengaruh atas kemenangannya [Duterte]," kata Yasay.

Pada kesempatan yang sama, Duterte tidak mengesampingkan kemungkinan negosiasi ulang perjanjian tersebut di masa depan jika dianggap perlu.

"Ketika ia mengatakan bahwa ia berkomitmen terhadap perjanjian yang telah kami tandatangani, dia tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa di masa depan, jika dirasa perlu, bernegosiasi kembali atas perjanjian ini, atas dasar mengejar kepentingan bersama kedua negara, kita tidak perlu ragu untuk melakukannya, "kata Yasay.

Mahkamah Agung Filipina tahun ini menguatkan kebijakan perjanjian yang memungkinkan Amerika Serikat membangun gudang dan pusat logistik di wilayah mana saja di Filipina.

Washington juga membantu bekas koloninya untuk meningkatkan pertahanan, menyediakan peralatan radar dan kapal penelitian yang akan tiba pada Juli mendatang.

China mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan, salah satu rute perdagangan terpenting dengan nilai mencapai US$5 triliun per tahun dan diyakini kaya minyak. China Klaim China tumpang tindih dengan Filipina, Malaysia, Brunei, Taiwan dan Vietnam.

Ketegangan antara Filipina dan China meningkat menyusul persiapan pengadilan internasional di Den Haag untuk memberikan putusan dalam beberapa bulan ke depan terkait sengketa wilayah di Laut China Selatan yang diajukan oleh Manila pada 2013.

Filipina berupaya mencari klarifikasi dari hukum maritim PBB yang dapat melemahkan klaim China sebesar 90 persen dari Laut China Selatan. China menolak otoritas pengadilan tersebut.

Duterte juga menyerukan agar China menghormati Zona Ekonomi Eksklusif sepanjang 200 mil laut yang ditetapkan berdasarkan hukum internasional.




Credit  CNN Indonesia