Kamis, 08 September 2016

Obama Sebut Putusan Arbitrase Laut China Selatan Mengikat

 
Obama Sebut Putusan Arbitrase Laut China Selatan Mengikat  
Obama sempat mendesak China untuk tunduk pada hukum dan tak mengambil langkah unilateral yang dapat meningkatkan ketegangan. (Reuters/Carlos Barria)
 
Jakarta, CB -- Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, menegaskan bahwa putusan Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) mengenai sengketa Laut China Selatan mengikat.

"Putusan arbitrase pada Juli lalu, yang mengikat itu, membantu mengklarifikasi hak maritim di kawasan," ujar Obama dalam pertemuan dengan para pemimpin negara anggota ASEAN di Laos, Kamis (8/9), seperti dikutip AFP.

Komentar ini dilontarkan oleh Obama di tengah panasnya situasi di kawasan setelah China menolak hasil keputusan PCA yang mementahkan klaim Beijing atas 90 persen wilayah Laut China Selatan. China bahkan tak mengakui keberadaan pengadilan yang berbasis di Den Haag, Belanda, itu.

Obama pun sempat mendesak China untuk tunduk pada hukum dan tak mengambil langkah unilateral yang dapat meningkatkan ketegangan. Namun, China balik menuding AS melakukan intervensi dan menggunakan putusan PCA itu untuk menyulut konfrontasi.

"Saya menyadari ini meningkatkan ketegangan, tapi juga saya ingin melangkah ke depan dan mendiskusikan bagaimana kita dapat melangkah bersama untuk mengurangi ketegangan dan meningkatkan diplomasi dan stabilitas," ucap Obama.

Di tengah kisruh sengketa di LCS ini, AS juga memiliki peran. Selain mengirimkan kapal perangnya ke dekat daerah sengketa di LCS, AS yang merupakan sekutu dekat Filipina, pihak yang mengajukan tuntutan mengenai LCS ke PCA.

Deputi Bidang Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Maritim Republik Indonesia, Havas Oegroseno, juga mengakui peran besar AS di dalam kisruh ini. Ia pun mengimbau agar AS segera meratifikasi Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS).

"Salah satu rekan kami di kawasan yang memegang peran penting, Amerika Serikat, saya pikir harus memulai proses untuk meratifikasi UNCLOS. Tidak mungkin kita membicarakan UNCLOS tanpa menjadi bagian di dalamnya," ujar Havas akhir Agustus lalu.

Kemelut ini sendiri bermula ketika China mengklaim sekitar 90 persen Laut China Selatan, salah satu jalur perdagangan tersibuk dunia yang diyakini kaya minyak dan gas.

Klaim China di jalur perdagangan yang mencapai US$5 triliun per tahun ini tumpang tindih dengan Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam.


Credit  CNN Indonesia