Banyak negara yang merasa 'terjebak' dengan bantuan Cina.
REPUBLIKA.CO.ID,
BEIJING -- Cina dikabarkan akan memperketat kontrol terhadap bantuan
dan investasi mereka di luar negeri. Dalam sebuah dokumen yang berjudul
'Langkah untuk Administrasi Bantuan Luar Negeri' yang dipublikasi di
situs
China International Development Cooperation Agency (CIDCA) terdapat sebuah regulasi baru yang bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan program bantuan luar negeri.
Dokumen tersebut meminta CIDCA dan badan pemerintah lainnya untuk
terlibat sepenuhnya dalam mengevaluasi projek mereka di luar negeri.
Dokumen ini dipublikasikan ketika semakin kuatnya tuduhan terhadap
kebijakan investasi Cina yang dinilai menjebak negara-negara tempat
mereka berinvestasi dengan utang.
Profesor hukum di Beihang
University di Beijing, Tain Feilong mengatakan regulasi baru ini
sepertinya sebuah reaksi atas tantangan yang dihadapi Cina dalam
menjalankan Belt and Road Plan. Belt and Road plan adalah sebuah peta
jalan investasi Cina yang diciptakan Presiden Xi Jinping dalam membangun
infrastruktur yang menghubungkan Asia, Afrika dan Eropa.
"Proyek
di bawah Belt and Road plan biasanya diimplementasikan dengan
mengutamakan politik," kata Feilong, seperti dilansir dari
South Morning China Post, Rabu (14/11).
Tapi
faktanya, kata Feilong, projek yang dijalankan dengan kebijakan
pemerintah ini tidak memiliki penilaian risiko yang tepat serta dikelola
dengan buruk. Hal ini terlihat dari tuduhan yang diberikan terhadap
rencana ini. Banyak negara melihat bantuan Cina yang berupa utang akan
sangat sulit dikembalikan dan sangat mengikat.
"Hal ini
telah menghambat keefektifan bantuan Cina, meningkatkan pertanyaan
tentang legitimasi dan memicu tuduhan diplomasi jebakan utang," kata
Feilong.
Cina membantah keras tuduhan tersebut dan
mengatakan investasi yang mereka lakukan tidak pernah ada hubungannya
dengan politik. Mereka juga berjanji tidak akan mencampuri urusan
internal negara-negara yang mereka investasikan. Tapi proyek Belt and
Road plan ini dituduh sebagai upaya Cina memperkuat pengaruh mereka di
seluruh dunia.
Di Cina sendiri banyak yang menganggap
proyek ini tidak berguna. Karena dana investasi Cina justru dipakai
untuk membangun infrastruktur yang tidak benar-benar bermanfaat seperti
gedung pemerintahan yang mewah atau stadion olahraga.
Contohnya
seperti Bandara Internasional Mattala Rajapaksa di Sri Langka.
Pembangunan bandara terbesar kedua di Asia Selatan itu memakai dana
investasi Cina dan menggunakan kontraktor dari Cina. Bandara tersebut
rencananya dapat menampung 1 juta penumpang per tahun.
Professor
hukum Heidelberg University di Jerman, Marina Rudyak mengatakan sistem
evaluasi yang baru ini akan menjadi langkah penting bagi Cina. Tapi
hanya bila evaluasi dilakukan oleh tim independen dan tidak memiliki
hubungan dengan pemerintah Cina.
"Evaluasi diri sendiri
akan mengarah pada konflik kepentingan, yang menjadi alasan mengapa
kebanyakan penyumbang bantuan tradisional bersikeras agar proyek bantuan
luar negeri mereka dievaluasi oleh tim independen," kata Rudyak.
CIDCA
didirikan pada bulan Maret lalu, mereka akan memberi laporan kepada
Dewan Negara yang terdiri dari Kabinet Menteri Cina. Badan ini dibentuk
sebagai upaya Cina memperkuat strategi dan mengkonsolidasi manajemen
program bantuan luar negeri mereka. Karena bentuk program bantuan ini
sangat bervariasi dari hibah, hutang bebas bungan sampai bunga ringan.
Menurut
AidDAta, sebuah pusat penelitian bantuan luar negeri William Mary
University di Amerika Serikat, kini Cina sudah mengalokasikan sekitar 81
juta dolar AS untuk program bantuan pembanguan luar negeri. Bantuan
tersebut diberikan dari tahun 2000 sampai 2014. Membuat Cina negara
kedua penyumbang terbesar di dunia setelah Amerika Serikat.