Ilustrasi (AFP PHOTO / OMAR HAJ KADOUR)
Kekhawatiran ini muncul lantaran pemerintah Suriah berencana untuk menggempur wilayah pertahanan terakhir para pemberontak di barat laut provinsi Idlib. Jika serangan itu benar dilakukan, internasional khawatir akan terjadi pertumpahan darah di wilayah itu.
Pengamat yang menamakan diri Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia menyebut bahwa 364.792 orang telah tewas sejak meletusnya Perang Suriah 2011 lalu. Sebanyak sepertiga dari mereka adalah warga sipil.
Korban jiwa naik 13 ribu orang dalam enam bulan terakhir. Berdasarkan keterangan lembaga pengawasan di Inggris, jumlah korban tewas ini termasuk para pejuang, pejabat, dan staf medis.
Perang telah membunuh 110.687 warga sipil, termasuk lebih dari 20.000 anak dan hampir 13.000 wanita.
Sementara dari pihak pro pemerintah, lebih dari 124.000 pejuang tewas, setengah dari mereka adalah pasukan rezim. Sisanya bermacam-macam milisi Suriah dan asing yang setia kepada Assad. Sebanyak 1.665 korban berasal dari gerakan Hezbollah Lebanon.
Observatorium mencatat kematian 64.000 Islamis garis keras dan jihadis, termasuk dari kelompok Negara Islam dan mantan faksi afiliasi Al-Qaeda.
Sementara 64.800 pejuang lain dari pasukan lain, termasuk pemberontak non-jihadis, tentara yang membelot dan faksi Kurdi, juga tewas sejak 2011.
Observatorium mengatakan telah mengkonfirmasi kematian 250 orang lainnya tetapi tidak dapat menyebutkan identitas mereka.
Pemerintahan Basar Al-Assad telah berhasil merebut kembali hampir dua pertiga wilayah Suriah. Hal ini dicapai dengan bantuan dari sekutu Rusia dan Iran. Sementara wilayah besar lainnya di timur laut, dikuasai oleh Kurdi.
Bagian terbesar dari wilayah yang dikuasai pemberontak yang tersisa terdiri dari provinsi Idlib dan daerah sekitarnya, tempat sekitar tiga juta orang tinggal.
Pasukan Assad telah berkumpul di sekitar Idlib selama berminggu-minggu sebelum pemerintah mengancam melakukan serangan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, kekuatan dunia, dan kelompok bantuan sama-sama telah memperingatkan serangan penuh terhadap Idlib dapat menciptakan bencana kemanusiaan.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pekan ini mendesak rezim untuk mundur dan bagi semua pihak untuk menemukan solusi damai, mengatakan Idlib "tidak boleh berubah menjadi pertumpahan darah."
Credit cnnindonesia.com