BEIJING
- China mengancam akan menginvasi Taiwan seketika saat kapal perang
Amerika Serikat (AS) mengunjungi wilayah tersebut. Ancaman itu dikecam
pihak Taipei dengan menuduh Beijing gagal memahami apa arti demokrasi.
China hingg kini menganggap Taiwan sebagai provinsinya yang membangkang, namun tidak pernah menggunakan kekuatan militer untuk menyeret kembali wilayah itu dalam kendalinya.
AS sendiri sejatinya tidak memiliki hubungan formal dengan Taiwan. Namun, keduanya terikat oleh undang-undang yang memungkinkan Washington memasok senjata untuk Taipei guna mempertahankan diri.
Beijing secara teratur menyebut Taiwan sebagai isu paling sensitif dan penting yang selalu dibahas dengan Washington. Pada bulan September, Kongres AS meloloskan Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional untuk Tahun Fiskal 2018. UU itu memberi wewenang kunjungan timbal balik oleh kapal angkatan laut antara Taiwan dan AS.
Ancaman invasi Beijing terhadap Taipei ini dilontarkan diplomat China, Li Kexin, dalam sebuah acara di Kedutaan Besar China di Washington pada hari Jumat pekan lalu. Dia mengatakan kepada pejabat AS bahwa China akan mengaktifkan Undang-undang Anti-Pemisahan Diri yang memungkinkan negaranya menggunakan kekerasan di Taiwan.
Menurutnya, cara itu perlu jika Amerika Serikat mengirim kapal perangnya ke Taiwan. ”Pada hari ketika sebuah kapal Angkatan Laut AS tiba di Kaohsiung adalah hari di mana Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) kami menyatukan Taiwan dengan kekuatan militer,” kata Li mengacu pada nama pelabuhan utama Taiwan, seperti dikutip Reuters, Senin (11/12/2017).
Kementerian Luar Negeri Taiwan mengatakan bahwa para pejabat China ingin mencoba dan memenangkan hati dan pikirannya di Taiwan. Beijing, lanjut kementerian itu, juga berulang kali menggunakan ancaman yang melukai perasaan orang-orang Taiwan.
”Metode ini menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang arti sebenarnya dari sistem demokrasi dan bagaimana masyarakat demokratis bekerja,” kata kementerian tersebut.
China mencurigai Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, yang memimpin Partai Progresif Demokratik yang pro-kemerdekaan, ingin mengumumkan kemerdekaan Taiwan secara formal. Tsai pernah mengatakan bahwa dia ingin mempertahankan perdamaian dengan China, namun juga akan mempertahankan keamanan Taiwan.
Tabloid berpengaruh di China, Global Times, yang diterbitkan oleh pejabat Partai Komunis, dalam editorialnya hari Senin (11/12/2017), menyatakan bahwa China tidak akan pernah mundur dari Taiwan.
”China tidak pernah melepaskan pilihan untuk reunifikasi Taiwan secara paksa, jelas bagi orang-orang di Selat Taiwan,” bunyi editorial tersebut.
”Kata-kata Li telah mengirim peringatan ke Taiwan dan menarik garis merah yang jelas. Jika Taiwan mencoba mengadakan referendum kemerdekaan atau kegiatan lainnya dalam mengejar kemerdekaan Taiwan, PLA niscaya akan bertindak,” lanjut editorial media Beijing tersebut.
China hingg kini menganggap Taiwan sebagai provinsinya yang membangkang, namun tidak pernah menggunakan kekuatan militer untuk menyeret kembali wilayah itu dalam kendalinya.
AS sendiri sejatinya tidak memiliki hubungan formal dengan Taiwan. Namun, keduanya terikat oleh undang-undang yang memungkinkan Washington memasok senjata untuk Taipei guna mempertahankan diri.
Beijing secara teratur menyebut Taiwan sebagai isu paling sensitif dan penting yang selalu dibahas dengan Washington. Pada bulan September, Kongres AS meloloskan Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional untuk Tahun Fiskal 2018. UU itu memberi wewenang kunjungan timbal balik oleh kapal angkatan laut antara Taiwan dan AS.
Ancaman invasi Beijing terhadap Taipei ini dilontarkan diplomat China, Li Kexin, dalam sebuah acara di Kedutaan Besar China di Washington pada hari Jumat pekan lalu. Dia mengatakan kepada pejabat AS bahwa China akan mengaktifkan Undang-undang Anti-Pemisahan Diri yang memungkinkan negaranya menggunakan kekerasan di Taiwan.
Menurutnya, cara itu perlu jika Amerika Serikat mengirim kapal perangnya ke Taiwan. ”Pada hari ketika sebuah kapal Angkatan Laut AS tiba di Kaohsiung adalah hari di mana Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) kami menyatukan Taiwan dengan kekuatan militer,” kata Li mengacu pada nama pelabuhan utama Taiwan, seperti dikutip Reuters, Senin (11/12/2017).
Kementerian Luar Negeri Taiwan mengatakan bahwa para pejabat China ingin mencoba dan memenangkan hati dan pikirannya di Taiwan. Beijing, lanjut kementerian itu, juga berulang kali menggunakan ancaman yang melukai perasaan orang-orang Taiwan.
”Metode ini menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang arti sebenarnya dari sistem demokrasi dan bagaimana masyarakat demokratis bekerja,” kata kementerian tersebut.
China mencurigai Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, yang memimpin Partai Progresif Demokratik yang pro-kemerdekaan, ingin mengumumkan kemerdekaan Taiwan secara formal. Tsai pernah mengatakan bahwa dia ingin mempertahankan perdamaian dengan China, namun juga akan mempertahankan keamanan Taiwan.
Tabloid berpengaruh di China, Global Times, yang diterbitkan oleh pejabat Partai Komunis, dalam editorialnya hari Senin (11/12/2017), menyatakan bahwa China tidak akan pernah mundur dari Taiwan.
”China tidak pernah melepaskan pilihan untuk reunifikasi Taiwan secara paksa, jelas bagi orang-orang di Selat Taiwan,” bunyi editorial tersebut.
”Kata-kata Li telah mengirim peringatan ke Taiwan dan menarik garis merah yang jelas. Jika Taiwan mencoba mengadakan referendum kemerdekaan atau kegiatan lainnya dalam mengejar kemerdekaan Taiwan, PLA niscaya akan bertindak,” lanjut editorial media Beijing tersebut.
Credit sindonews.com