WASHINGTON
- Korea Utara (Korut) kemungkinan akan terus menembakkan rudal dari
Semenanjung Korea, kira-kira setiap dua minggu untuk sisa tahun ini. Hal
itu berdasarkan perhitungan seorang ahli AS di Korea Economic Institute
of America.
"Jika tes Korut berlanjut dengan kecepatan yang sama seperti tahun ini, kita dapat memperkirakan tes rudal baru setiap 2,1 minggu dan 13-14 tes lainnya," tulis Troy Stangarone dalam sebuah artikel untuk situs the KEI The Peninsula.
Jumlah tes rudal dari Pyongyang telah meningkat hampir setiap tahun sejak 2012. Stangarone menemukan Korea Utara meluncurkan rata-rata 0,25 rudal per bulan pada 2012, 0,42 pada 2013, 1,3 pada 2014, 0,83 pada 2015, 1,7 pada 2016, dan 1,8 sejauh ini pada 2017.
Analis tersebut mengungkapkan bahwa sementara Pyongyang menguji hanya delapan rudal pada 2012 dan 2013, angka tersebut meningkat menjadi 15,3 tes setiap tahun pada tahun 2015 dan 2016 seperti dikutip dari Sputniknews, Selasa (13/6/2017).
Meski begitu, Stangrone mengakui bahwa perhitungannya mungkin tidak benar karena dalam meluncurkan rudal Korut jarang sekali mengikuti pola linier. Namun, jika kepemimpinan di Pyongyang terus melakukan uji coba seperti saat ini, Korut akan melampaui jumlah tes rudal tahun lalu dengan 3-4 tes.
Ia lantas menyarankan bahwa sanksi adalah salah satu pilihan terbaik yang tersedia untuk menghadapi kemampuan rudal Pyongyang yang meluas.
"Pemimpin dari seluruh dunia harus siap untuk lebih cepat menanggapi langkah maju uji coba rudal Korut dengan menyiapkan menu pengetatan opsi sanksi multilateral yang telah disetujui secara informal sebelumnya," katanya.
Sementara penilaian intelijen pasti bisa berubah seiring berjalannya waktu. CIA telah mengumpulkan sebuah laporan untuk Dewan Intelijen Nasional AS yang berjudul "Korut: Kemungkinan Menanggapi Sanksi Ekonomi". Laporan itu menyimpulkan bahwa sanksi tidak akan mendorong Pyongyang keluar dari jalur yang diinginkan untuk mendapatkan gudang senjata nuklir yang kuat.
Laporan tersebut, yang diklasifikasikan sebagai "rahasia" pada tahun 1990, menyatakan komunitas intelijen percaya bahwa sanksi ekonomi tidak akan menyebabkan Korea Utara meninggalkan program senjata nuklirnya. Ditambahkan bahwa jika Pyongyang melihat sanksi apapun sebagai ancaman kelangsungan hidup, kemungkinan akan menyerang Korea Selatan (Korsel) sebagai pembalasan.
"Jika tes Korut berlanjut dengan kecepatan yang sama seperti tahun ini, kita dapat memperkirakan tes rudal baru setiap 2,1 minggu dan 13-14 tes lainnya," tulis Troy Stangarone dalam sebuah artikel untuk situs the KEI The Peninsula.
Jumlah tes rudal dari Pyongyang telah meningkat hampir setiap tahun sejak 2012. Stangarone menemukan Korea Utara meluncurkan rata-rata 0,25 rudal per bulan pada 2012, 0,42 pada 2013, 1,3 pada 2014, 0,83 pada 2015, 1,7 pada 2016, dan 1,8 sejauh ini pada 2017.
Analis tersebut mengungkapkan bahwa sementara Pyongyang menguji hanya delapan rudal pada 2012 dan 2013, angka tersebut meningkat menjadi 15,3 tes setiap tahun pada tahun 2015 dan 2016 seperti dikutip dari Sputniknews, Selasa (13/6/2017).
Meski begitu, Stangrone mengakui bahwa perhitungannya mungkin tidak benar karena dalam meluncurkan rudal Korut jarang sekali mengikuti pola linier. Namun, jika kepemimpinan di Pyongyang terus melakukan uji coba seperti saat ini, Korut akan melampaui jumlah tes rudal tahun lalu dengan 3-4 tes.
Ia lantas menyarankan bahwa sanksi adalah salah satu pilihan terbaik yang tersedia untuk menghadapi kemampuan rudal Pyongyang yang meluas.
"Pemimpin dari seluruh dunia harus siap untuk lebih cepat menanggapi langkah maju uji coba rudal Korut dengan menyiapkan menu pengetatan opsi sanksi multilateral yang telah disetujui secara informal sebelumnya," katanya.
Sementara penilaian intelijen pasti bisa berubah seiring berjalannya waktu. CIA telah mengumpulkan sebuah laporan untuk Dewan Intelijen Nasional AS yang berjudul "Korut: Kemungkinan Menanggapi Sanksi Ekonomi". Laporan itu menyimpulkan bahwa sanksi tidak akan mendorong Pyongyang keluar dari jalur yang diinginkan untuk mendapatkan gudang senjata nuklir yang kuat.
Laporan tersebut, yang diklasifikasikan sebagai "rahasia" pada tahun 1990, menyatakan komunitas intelijen percaya bahwa sanksi ekonomi tidak akan menyebabkan Korea Utara meninggalkan program senjata nuklirnya. Ditambahkan bahwa jika Pyongyang melihat sanksi apapun sebagai ancaman kelangsungan hidup, kemungkinan akan menyerang Korea Selatan (Korsel) sebagai pembalasan.
Credit sindonews.com