Menurut Arie, proses pembuatan pesawat berkapasitas 19 penumpang itu berjalan terus. Namun ada beberapa pekerjaan yang masih memerlukan proses untuk diselesaikan, seperti sertifikasi beberapa komponen. “Ini memang biasa untuk suatu desain pesawat yang baru. Tidak ada desain yang diubahm hanya komponen-komponen yang dibuat lokal itu memerlukan sertifikasi dan ini membutuhkan waktu,” ujarnya.
Andi pun mengatakan, “Masih banyak yang harus kita tes, seperti landing gear drop test dan tes berbagai komponen lain. Sertifikasi tiap komponen jalan terus sampai sekarang. Setiap satu komponen jadi, dicocokkan dengan gambar. Kalau cocok, disertifikasi, dan boleh dipasang. Ini juga yang membuat lama dan waktu terbangnya mundur.” Kata dia, banyak hal yang harus diperhatikan sebelum pesawat melakukan first flight, seperti kesiapan pesawat dari berbagai pengujian.
Untuk terbang perdana N219 itu, menurut Andi, skenarionya sudah disusun. “Nanti pesawat akan membawa fuel untuk satu jam terbang. Namun yang terpenting adalah ada 200 parameter yang diukur ketika first flight ini,” ungkapnya. Jika pesawat sudah terbang perdana, proses sertifikasi kelaikan terbangnya dimulai.
Rencananya, pesawat yang diperuntukan bagi penerbangan ke pelosok-pelosok, terutama di kawasan timur Indonesia, ini bisa diproduksi tahun 2017. Andi menjelaskan bahwa pesawat N219 yang berbahan aluminium 20 dan 24, seperti yang digunakan pada NC212 dan CN235, itu bukan pesawat “mewah”, tapi fungsional yang diproduksi khususnya untuk penerbangan perintis. “Kami juga tak menargetkan untuk menjualnya dengan produksi besar di pasar internasional. Yang paling besar adalah untuk pasar Indonesia, kemudian di Asia ada sedikit dan di Afrika,” ucapnya.
Pesawat N219 dibangun dengan unsur lokalitas yang kental. Arie mengatakan, selain komponen-komponen inti, seperti mesin PT6-42 dari Pratt & Whitney, avionik Garmin 1000, dan propeller buatan Hartzell Propeller Inc., jig dan semua komponen diupayakan produksi dalam negeri. “Kami bermitra dengan berbagai perusahaan yang memroduksinya. Begitu pula dengan landing gear, yang dibuat oleh gabungan perusahaan lokal,” ujarnya.
Biaya pengembangan N219 sampai tahun 2017 sekitar Rp500miliar. “Dana ini ada yang dari perusahaan sendiri dan dari Lapan (Pemerintah),” ujar Andi, yang seperti juga Arie tetap optimis N219 bisa terbang dan diproduksi PTDI, kemudian dipasarkan dan dioperasikan di seluruh pelosok Nusantara.
Credit Angkasa.co.id