Indonesia
sudah lama berencana membeli pesawat tempur pengganti F-5E/F Tiger II
dengan beberapa pabrikan mengajukan produk unggulannya, di antaranya
JAS39 Gripen (Saab AB, Swedia), Eurofighter Typhoon (Airbus Military), F-16 Block 60/70 Viper (Lockheed-Martin, Amerika Serikat), dan Sukhoi Su-35 Flanker E (Komsomolsk-on-Amure Aircraft Production Association).
"Begini,
bukan tidak ada progres. Saya menekankan harganya berapa. Selagi
harganya belum ada, saya akan tanya terus," kata Ryacudu, Jakarta,
Kamis.
Dia mengatakan, harga pembelian pesawat tempur itu harus sesuai dengan skala keekonomian sehingga dana digunakan seefisien mungkin.
"Kalau kita tidak tahu (harganya) kan jadi menggelembung. Kalau cuma 25 persen untuk mencari keuntungan itu wajar, tapi kalau lebih dari itu tidak bagus karena itu duit rakyat," ujarnya.
Dia mengatakan, harga pembelian pesawat tempur itu harus sesuai dengan skala keekonomian sehingga dana digunakan seefisien mungkin.
"Kalau kita tidak tahu (harganya) kan jadi menggelembung. Kalau cuma 25 persen untuk mencari keuntungan itu wajar, tapi kalau lebih dari itu tidak bagus karena itu duit rakyat," ujarnya.
Pengadaan
pesawat tempur TNI AU yang terdekat pasca kontrak pembelian dilakukan
adalah untuk 24 unit F-16 Block 52ID eks Korps Udara Cadangan Pengawal
Nasional Amerika Serikat. Lockheed Martin terikat kontrak dengan
Indonesia, 14 unit di antaranya telah dikirim dan 10 unit lain menunggu
hingga 2018 nanti.
Sebelumnya, kepastian Sukhoi Su-35 Flanker E akan hadir di hanggar TNI AU menggantikan F-5E/F Tiger II masih belum terjadi. Laman rbth.indonesia, Jumat (28/10), menyatakan, negosiasi harga dan transfer teknologi bisa menjadi faktor penghalang keputusan pembelian pesawat tempur Sukhoi Su-35 Flanker E.
Gelaran industri pertahanan Indo Defence 2016 akan menjadi arena baru penawaran pesawat tempur pengganti F-5E/F Tiger II dari Skuadron Udara 14 TNI AU. Kompetisi antara JAS-39 Gripen, Eurofighter Typhoon, dan Sukhoi Su-35 Flanker E, akan dibuka kembali.
Karena itulah Indonesia kemudian mengundang dua kontestan lain untuk mengirim proposal resmi mereka dalam program penggantian F-5E/F Tiger II ini.
Credit ANTARA News
Kontrak pembelian Sukhoi Su-35 bisa terkendala ToT dan produksi bersama
Jakarta (CB) - Kepastian Sukhoi Su-35 akan hadir di hanggar TNI AU menggantikan F-5E/F Tiger II
masih belum terjadi. Laman rbth.indonesia, Jumat, menyatakan, negosiasi
harga dan transfer teknologi bisa menjadi faktor penghalang keputusan
pembelian pesawat tempur Sukhoi Su-35.
Gelaran industri pertahanan Indo Defence 2016 akan menjadi arena baru penawaran pesawat tempur pengganti F-5E/F Tiger II dari Skuadron Udara 14 TNI AU. Kompetisi antara JAS-39 Gripen dari Saab (Swedia), Eurofighter Typhoon (Airbus Military), dan Sukhoi Su-35 (Rosoboronexport, Rusia), akan dibuka kembali.
Semula gencar disebut-sebut bahwa Sukhoi Su-35 akan menjadi pengganti F-5E/F Tiger II itu dan kepastian kontrak pembelian akan dilaksanakan pada paruh kedua 2016 ini.
Namun,
harga yang ditawarkan dan skema serta jenis transfer teknologi yang
diberikan Rusia untuk membangun bersama pesawat tempur itu di Indonesia
menjadi hal yang masih mengganjal.
Karena
itulah Indonesia kemudian mengundang dua kontestan lain untuk mengirim
proposal resmi mereka dalam program penggantian F-5E/F Tiger II ini.
Laman
www.defenseworld.net, Selasa (27/10), melaporkan, pemerintah Indonesia
saat ini menegaskan hanya membeli benda dan peralatan perang dari luar
negeri jika ada transfer teknologi dan produksi bersama.
Sumber
Rusia yang dikutip pada Singapore Air Show 2016 lalu, menyatakan,
jumlah unit Sukhoi Su-35 yang akan dibeli Indonesia masih sangat sedikit
untuk memungkinkan mereka memberi kedua hal itu, yaitu transfer
teknologi dan produksi bersama.
Indonesia berencana membeli hanya delapan atau paling banyak 12 unit Sukhoi Su-35.
Dibandingkan dengan pesaingnya, Saab pada Indo Defence 2016 kali ini akan membawa simulator JAS39 Gripen ke Jakarta.
Direktur kampanye JAS39 Gripen, Magnus Hagman, menyatakan, biaya operasional JAS39 Gripen hanya 4.700 dolar Amerika Serikat alias hanya 10 persen ketimbang biaya operasional Sukhoi Su-35.
Faktor
pembiayaan pasca pembelian (perawatan dan operasional) sangat krusial
untuk jangka menengah dan panjang. Pula pada pola dan prioritas
operasionalisasi pesawat tempur.
Sejak
tahun lalu, Saab telah menegaskan komitmen mereka untuk memberi
transfer teknologi kepada Indonesia dalam skala yang menguntungkan kedua
belah pihak. Brazil telah menempuh cara ini, seiring kontrak pasti
pembelian 36 unit JAS39 Gripen NG, yang hanggar produksinya telah dibangun di Brazil.
Selain
tawaran transfer teknologi, Saab juga menawarkan produksi bersama JAS39
Gripen dan pelatihan bagi ahli aeronautika Indonesia dalam
mengintegrasikan sistem-sistem dalam pesawat tempur.
Hal ini diharapkan dapat berperan besar dalam program pembuatan pesawat terbang tempur buatan Indonesia, IFX.
Walau berukuran paling mungil dan bermesin tunggal —Sukhoi Su-35 dan Eurofighter Typhoon berukuran besar dan bermesin ganda— JAS39 Gripen sudah diintegrasikan dengan peluru kendali udara ke permukaan RBS 15 untuk menghajar target di darat dan permukaan laut.
Ditambah
dengan radar AESA maka daya gentar dan kemampuannya diyakini semakin
meningkat. Sukhoi Su-35 mengembangkan radar pasif, PESA.
Credit ANTARA News