Jumat, 18 November 2016

Gedung Tua Persatukan NU-Muhammadiyah


 Gedung Kantor Madjlis Islam Alaa Indonesia (MIAI)
Gedung Kantor Madjlis Islam Alaa Indonesia (MIAI)
 
 Oleh: Alwi Shahab

Inilah bangunan Bataviaasche Kunstkring yang telah berusia lebih dari satu abad (dibangun pada 1913). Terletak di Jl Teuku Umar No 1, Jakarta Pusat, gedung Perkumpulan Kesenian Batavia ketika diresmikan dan dimeriahkan oleh pergelaran opera dari Eropa.

Bekas gedung kesenian yang hingga kini masih berdiri dengan tegak ini memiliki ciri khas seperti terlihat di foto selama pendudukan Jepang (1942-1945) adalah lengkungan pintu, jendela, balkon, arkadia, dan menara. Gedung ini berdiri di atas tanah seluas 0,3 hektare dengan bangunan 731 meter persegi. Merupakan bangunan pertama yang menerapkan teknologi beton bertulang.

Gedung bersejarah ini pernah telantar kemudian diselamatkan ketika diambil alih Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI. Ia juga merupakan awal pembangunan kawasan Menteng.

Gedung ini pada masa Bung Karno pernah digunakan untuk kantor Ditjen Imigrasi. Sebelumnya, beberapa saat setelah kemerdekaan, gedung ini menjadi kantor Madjlis Islam Alaa Indonesia (MIAI). MIAI adalah badan federasi perhimpunan Islam yang didirikan pada 21 September 1937 di Surabaya. Federasi ini didirikan atas prakarsa tokoh-tokoh Islam yang bersifat tradisional, yakni KH Wahab Chasbullah (NU), KH Mas Mansyur dan KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah).


Beberapa organisasi Islam lokal juga hadir dalam pembentukannya. Tujuannya di dalam negeri adalah mengeratkan hubungan antarumat Islam, sedangkan kiprahnya di luar negeri pun untuk mengeratkan hubungan umat Islam Indonesia dengan negara luar. Inisiatif ke arah persatuan Islam mengingat kala itu (pada 1930’an) diperlukan kerja sama yang erat untuk melawan penjajah Belanda.

MIAI bertekad dengan adanya friksi-friksi di bidang politik dan perbedaan paham dalam soal khilafiah di kalangan umat Islam perlu dibenahi di atas dasar ukhuwah Islamiyah. Organisasi-organisasi berasaskan Islam menyambut baik pembentukan MIAI. Dalam perjuangannya, MIAI bersikap nonkooperatif terhadap penjajah, baik Belanda maupun Jepang. Oleh sebab itu, Jepang segera membubarkan MIAI karena dianggap membahayakan pendudukannya di Indonesia. MIAI kemudian membentuk Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).

Seperti MIAI, para pendukung utama Masyumi berasal dari Muhammadiyah dan NU. Ketika Pemilu 1955 terbentuk, Partai NU terpisah dari Masyumi. Masyumi sendiri kemudian dibubarkan Presiden Soekarno pada awal 1960-an.


Credit  REPUBLIKA.CO.ID