Jumat, 18 November 2016

DPR AS Larang Penjualan Pesawat Komersial ke Iran


 
DPR AS Larang Penjualan Pesawat Komersial ke Iran  
Ilustrasi pesawat (Pixabay/albert22278)
 
Jakarta, CB -- Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat meloloskan rancangan undangan-undangan pekan ini untuk melarang penjualan pesawat komersial ke Iran. Keputusan ini merupakan salah satu upaya untuk menghentikan penjualan pesawat oleh Boeing dan Airbus ke negara Republik Islam itu, yang sebelumnya disetujui oleh pemerintahan Presiden Barack Obama.

Dilaporkan Reuters, RUU ini disahkan pada Kamis (17/11) oleh DPR AS yang mayoritas diisi oleh kader Partai Republik melalui pemungutan suara dengan hasil 243-174. Tercatat sebanyak delapan kader Demokrat bergabung dengan rekan mereka dari Republik untuk memberikan suara yang mendukung pelarangan ini.

Keputusan ini akan melarang Departemen Keuangan AS menerbitkan lisensi yang diperlukan berbagai bank AS untuk membiayai penjualan pesawat komersial ke Iran. Pelarangan ini merupakan langkah terbaru dari kader Republik yang menjabat di Kongres untuk menentang kesepakatan nuklir antara Iran, Amerika Serikat dan lima negara kuat lainnya.

Tawaran oleh Airbus dan Boeing untuk menjual atau menyewakan lebih dari 200 jet untuk IranAir akan membantu memodernisasi dan memperbanyak pesawat di negara itu, yang sudah mulai menua akibat sanksi ekonomi internasional terhadap Iran selama bertahun-tahun.

Meskipun Airbus berbasis di Perancis, namun perusahaan ini harus memiliki persetujuan dari Departemen Keuangan AS untuk melakukan penjualan pesawat, karena setidaknya 10 persen dari komponen pesawat Airbus buatan Amerika.

Beberapa anggota Kongres mengaku khawatir pelarangan penjualan pesawat akan berdampak pada pemangkasan sejumlah lapangan pekerjaan. Meski demikian, anggota Kongres dari Republik bersikeras mendukung pelarangan ini karena menilai bahwa pesawat penumpang dapat digunakan Iran untuk tujuan militer, seperti mengangkut pejuang yang memerangi pasukan AS atau sekutu di Suriah.

RUU yang diloloskan itu diperkirakan tidak akan disahkan menjadi hukum pada Kongres saat ini. RUU ini juga harus lolos di Senat, dan diperkirakan akan menghadapi penentangan keras dari Partai Demokrat.

Gedung Putih menyatakan Obama akan memveto langkah tersebut, bahkan jika RUU itu lolos di Senat. Obama menilai RUU itu akan melanggar kesepakatan nuklir dengan Iran, yang dicapai setelah republik Islam itu setuju untuk menghentikan program senjata nuklirnya.

Namun, di era kepemimpinan Donald Trump, kesepakatan nuklir ini terancam. Pasalnya, Trump vokal mengkritik kesepakatan yang menurutnya "bodoh" ini.



Credit  CNN Indonesia