CB, SEMARANG -- Pengamat hubungan internasional
Universitas Wahid Hasyim Semarang Anna Yulia Hartati menegaskan
Indonesia berdaulat menentukan perundangan sendiri, termasuk
melaksanakan eksekusi mati.
"Eksekusi mati terhadap dua terpidana narkotika asal Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, tidak akan menyebabkan putusnya hubungan diplomatik Indonesia dengan Australia," katanya di Semarang, Kamis (5/3).
Ketegangan, lanjut dia, memang akan terjadi antarkedua negara jika eksekusi terhadap dua terpidana narkotika itu dilakukan. Akan tetapi, yang paling parah akan menyebabkan rasa tidak nyaman untuk saling berinteraksi.
Menurut dia, pemutusan hubungan diplomasi dan kerja sama antarnegara tidaklah semudah membalikkan telapak tangan sebab ada hubungan antarwarga negara yang tidak bisa diputus oleh masing-masing negara.
"Seperti ketegangan antara Thailand dan Myanmar yang terjadi beberapa waktu lalu.
Ternyata tidak membuat warga dari kedua negara itu untuk berhenti berinteraksi," katanya.
Ia menjelaskan hubungan internasional diatur dalam Konvensi Wina tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik. Yang intinya sebenarnya adalah saling menghormati kedaulatan masing-masing negara.
Permintaan Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott kepada pemerintah Indonesia agar membatalkan hukuman mati terhadap duo "Bali Nine", yakni Andrew dan Myuran, kata dia, merupakan hal yang wajar.
Namun, kata dia, Pemerintah Indonesia yang sudah menyatakan perang melawan narkotika harus tegas dan berkomitmen dengan kebijakannya.
"Kapasitas Abbott adalah pemimpin negara yang berkewajiban melindungi warga negaranya. Sama halnya dengan Presiden Indonesia yang meminta pembatalan hukuman mati bagi WNI di luar negeri yang divonis mati," katanya.
Berkaitan dengan keberatan yang disampaikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap hukuman mati di Indonesia, dia juga menilainya sebagai kewajaran karena dasar keberatan PBB adalah tercabutnya hak hidup yang dijamin hak asasi manusia (HAM).
Akan tetapi, kata Anna, PBB tidak melihat kesalahan apa yang dilakukan manusia tersebut.
"Pemerintah Indonesia sudah bertindak benar dengan meratifikasi beberapa peraturan internasional terkait dengan HAM. Akan tetapi, Indonesia mempunyai kedaulatan untuk menentukan peraturan perundang-undangannya sendiri," katanya.
"Eksekusi mati terhadap dua terpidana narkotika asal Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, tidak akan menyebabkan putusnya hubungan diplomatik Indonesia dengan Australia," katanya di Semarang, Kamis (5/3).
Ketegangan, lanjut dia, memang akan terjadi antarkedua negara jika eksekusi terhadap dua terpidana narkotika itu dilakukan. Akan tetapi, yang paling parah akan menyebabkan rasa tidak nyaman untuk saling berinteraksi.
Menurut dia, pemutusan hubungan diplomasi dan kerja sama antarnegara tidaklah semudah membalikkan telapak tangan sebab ada hubungan antarwarga negara yang tidak bisa diputus oleh masing-masing negara.
"Seperti ketegangan antara Thailand dan Myanmar yang terjadi beberapa waktu lalu.
Ternyata tidak membuat warga dari kedua negara itu untuk berhenti berinteraksi," katanya.
Ia menjelaskan hubungan internasional diatur dalam Konvensi Wina tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik. Yang intinya sebenarnya adalah saling menghormati kedaulatan masing-masing negara.
Permintaan Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott kepada pemerintah Indonesia agar membatalkan hukuman mati terhadap duo "Bali Nine", yakni Andrew dan Myuran, kata dia, merupakan hal yang wajar.
Namun, kata dia, Pemerintah Indonesia yang sudah menyatakan perang melawan narkotika harus tegas dan berkomitmen dengan kebijakannya.
"Kapasitas Abbott adalah pemimpin negara yang berkewajiban melindungi warga negaranya. Sama halnya dengan Presiden Indonesia yang meminta pembatalan hukuman mati bagi WNI di luar negeri yang divonis mati," katanya.
Berkaitan dengan keberatan yang disampaikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap hukuman mati di Indonesia, dia juga menilainya sebagai kewajaran karena dasar keberatan PBB adalah tercabutnya hak hidup yang dijamin hak asasi manusia (HAM).
Akan tetapi, kata Anna, PBB tidak melihat kesalahan apa yang dilakukan manusia tersebut.
"Pemerintah Indonesia sudah bertindak benar dengan meratifikasi beberapa peraturan internasional terkait dengan HAM. Akan tetapi, Indonesia mempunyai kedaulatan untuk menentukan peraturan perundang-undangannya sendiri," katanya.
Credit REPUBLIKA.CO.ID