(ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R. Sukhyar mengatakan sebelum perusahaan tambang diwajibkan mengolah produksi tambangnya melalui smelter dalam negeri, Indonesia lebih banyak mengekspor bahan galian tambang mentah.
“Kewajiban smelter itu baru diterapkan 12 Januari 2014, jadi memang butuh 2-3 tahun untuk mempersiapkan smelter di dalam negeri. Tetapi saya yakin nilai ekspor 2016 bisa melebihi ekspor 2013 yang sepenuhnya jual ore,” kata Sukhyar di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Senin petang (30/3).
Pada 2013 sebelum ada kewajiban pengolahan dan pemurnian, Sukhyar mencatat nilai ekspor mineral mencapai US$ 15,1 miliar. Sehingga jika dibandingkan dengan target ekspor mineral tahun depan, terjadi peningkatan sekitar 12,58 persen.
Namun Sukhyar menyebut, target tersebut baru bisa dicapai jika rencana penyelesaian smelter yang dijanjikan perusahaan-perusahaan di sektornya bisa selesai tepat waktu sepanjang tahun ini dan tahun depan. Untuk itu, dia berpesan kepada instansi terkait lainnya untuk tidak mempersulit perusahaan-perusahaan smelter itu dengan menambah beban atau biaya lainnya.
“Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara menerima sekitar 35 proposal investasi smelter nikel. Iklimnya lagi bagus, jangan dipersulit mereka karena tidak mudah mengundang minat investasi smelter di Indonesia,” katanya.
Pada pertengahan bulan ini, Sukhyar menyebut ada enam smelter nikel baru yang dijadwalkan beroperasi mulai 2015 yaitu:
1. PT Sambas mineral mining dengan kapasitas produksi Feronikel sebesar 1.000 ton per bulan atau 12.000 ton per tahun dan menelan dana investasi sebesar US$ 10 Juta setara Rp 130 miliar.
2. PT Macika Mineral Industri dengan kapasitas Feronikel sebanyak 53.680 per tahun dengan investasi mencapai US$ 61 Juta setara Rp 793 miliar.
3. PT Karyatama Konawe Utara dengan kapasitas produksi Nickel Pig Iron (NPI) sebesar 50 ribu ton per tahun dan menelan investasi sebesar US$ 45 juta setara Rp 585 miliar.
4. PT Bintang Delapan dengan memperoduksi Feronikel dan menelan investasi US$ 636 juta setara Rp 8,26 triliun.
5. PT Fajar Bakti Lintas Nusantara dengan memproduksi NPI dengan nilai Rp 200 miliar, dan
6. PT Gebe Central Nickel dengan memproduksi Nikel dengan kapasitasi 6.000 ton per tahun dengan nilai investasi mencapai US$ 150 juta setara Rp 1,95 triliun.
“Enam smelter ini belum termasuk perluasan serta penambahan kapasitas smelter milik Antam, Indoferro dan Modern Group," ujar Sukhyar.
Sementara tahun depan akan ada lima smelter nikel lain senilai Rp 6,08 triliun yang siap untuk dioperasikan. Kelima smelter tersebut adalah:
1. PT Jilin Metal dengan memproduksi Feronikel dan menelan dana investasi mencapai US$ 270 juta setara Rp 3,51 triliun.
2. PT PAM Metalindo dengan produksi feronikel dan menghabiskan dana investasi US$ 100 juta setara Rp 1,3 triliun.
3. PT Putra Mekongga dengan memproduksi NPI dan menelan dana investasi mencapai US$ 25 juta setara Rp 325 miliar.
4. PT Angfang Brother dengan memproduksi NPI dengan nilai investasi US$ 18 juta setara Rp 234 miliar, dan
5. PT Bima Cakra Perkasa dengan nmemproduksi NPI dan menelan dana investasi Rp 719 miliar.
Selain nikel, beberapa smelter lain yang siap berproduksi mulai tahun ini dan tahun depan adalah smelter pengolahan bauksit dan pasir besi.
Credit CNN Indonesia