Kanselir Jerman Angela Merkel dan PM Jepang. (Foto: Reuters)
TOKYO (CB) – Kanselir Jerman Angela Merkel meminta
kepada Pemerintah Jepang menyelesaikan kasus perbudakan seksual selama
masa perang. Ini merupakan pernyataan keduanya terkait isu sensitif
dalam sejarah Asia Timur tersebut.
Dalam penutupan kunjungannya ke Jepang, Merkel mengatakan bahwa negara Sakura tersebut harus tetap melakukan rekonsiliasi dengan Korea Selatan (Korsel) terkait kasus perbudakan seksual oleh tentara Jepang.
"Jepang dan Korsel harus menyelesaikan permasalahan ini dengan cara yang seharusnya," kata Merkel seperti dikutip AFP, Selasa (10/3/2015).
Setelah bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada Senin 9 Maret 2015, Merkel menyatakan dalam konferensi pers bahwa penyelesaian sengketa sejarah merupakan "prasyarat untuk rekonsiliasi".
Pernyataan Kanselir Jerman tersebut dikeluarkan saat Jepang memperingati 70 tahun kekalahannya pada Perang Dunia II. Perdana Menteri Shinzo Abe menyatakan kejahatan perang Jepang di masa lalu tetap dalam penelitian teliti oleh pemerintah.
Sementara Menteri Luar Negeri Jepang, Fumio Kishida, menolak membandingkan secara sederhana cara Jepang dan Jerman dalam menyelesaikan sengketa perang di masa lalu. "Latar belakang sejarah perang Jepang dan Jerman berbeda," ujar Kishida.
Hubungan antara Jepang dan negara-negara jajahannya dahulu, seperti Tiongkok dan Korsel, sedang dingin terkait kejahatan seksual tentara Jepang di kedua negara tersebut selama masa perang. Beijing dan Seoul meminta kepada Tokyo meminta maaf dan menebus kesalahannya padai masa lalu.
Banyak sejarawan menyatakan, walau tanpa adanya data resmi, sebanyak 200.000 perempuan Korea, China, Indonesia, Filipina dan Taiwan diperbudak secara seksual oleh tentara Jepang pada masa pendudukan di tempat-tempat pelacuran militer.
Para sejarawan meyakini perempuan ini menjadi pekerja seksual karena dipaksa dan menyatakan Tentara Kekaisaran Jepang terlibat dalam perbudakan tersebut, secara langsung maupun tidak langsung.
Namun, pemerintahan sayap kanan Jepang menolak pendapat ini dan menyatakan para perempuan tersebut merupakan "perempuan penghibur" dan pekerja seks profesional yang terlibat dalam pertukaran komersial.
Kaum nasionalis Jepang juga menyatakan bahwa permintaan maaf dari Tokyo sudah cukup dan menuding pemerintah China dan Korsel menggunakan isu Perang Dunia II untuk memicu kemarahan dari negara-negara lain.
Dalam penutupan kunjungannya ke Jepang, Merkel mengatakan bahwa negara Sakura tersebut harus tetap melakukan rekonsiliasi dengan Korea Selatan (Korsel) terkait kasus perbudakan seksual oleh tentara Jepang.
"Jepang dan Korsel harus menyelesaikan permasalahan ini dengan cara yang seharusnya," kata Merkel seperti dikutip AFP, Selasa (10/3/2015).
Setelah bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada Senin 9 Maret 2015, Merkel menyatakan dalam konferensi pers bahwa penyelesaian sengketa sejarah merupakan "prasyarat untuk rekonsiliasi".
Pernyataan Kanselir Jerman tersebut dikeluarkan saat Jepang memperingati 70 tahun kekalahannya pada Perang Dunia II. Perdana Menteri Shinzo Abe menyatakan kejahatan perang Jepang di masa lalu tetap dalam penelitian teliti oleh pemerintah.
Sementara Menteri Luar Negeri Jepang, Fumio Kishida, menolak membandingkan secara sederhana cara Jepang dan Jerman dalam menyelesaikan sengketa perang di masa lalu. "Latar belakang sejarah perang Jepang dan Jerman berbeda," ujar Kishida.
Hubungan antara Jepang dan negara-negara jajahannya dahulu, seperti Tiongkok dan Korsel, sedang dingin terkait kejahatan seksual tentara Jepang di kedua negara tersebut selama masa perang. Beijing dan Seoul meminta kepada Tokyo meminta maaf dan menebus kesalahannya padai masa lalu.
Banyak sejarawan menyatakan, walau tanpa adanya data resmi, sebanyak 200.000 perempuan Korea, China, Indonesia, Filipina dan Taiwan diperbudak secara seksual oleh tentara Jepang pada masa pendudukan di tempat-tempat pelacuran militer.
Para sejarawan meyakini perempuan ini menjadi pekerja seksual karena dipaksa dan menyatakan Tentara Kekaisaran Jepang terlibat dalam perbudakan tersebut, secara langsung maupun tidak langsung.
Namun, pemerintahan sayap kanan Jepang menolak pendapat ini dan menyatakan para perempuan tersebut merupakan "perempuan penghibur" dan pekerja seks profesional yang terlibat dalam pertukaran komersial.
Kaum nasionalis Jepang juga menyatakan bahwa permintaan maaf dari Tokyo sudah cukup dan menuding pemerintah China dan Korsel menggunakan isu Perang Dunia II untuk memicu kemarahan dari negara-negara lain.
Credit Okezone