Senin, 12 Januari 2015

2014: tahun di mana Tiongkok membuat negara tetangga menjadi waspada tentang strategi pertahanan yang baru


Pelatihan Maritim: Seorang pelaut Filipina memuatkan peluru ke dalam senjata mesin 50 kaliber sewaktu mengikuti pelatihan di Laut Tiongkok Selatan bersama Angkatan Laut A.S. pada bulan Juni 2014. [AFP]
Pelatihan Maritim: Seorang pelaut Filipina memuatkan peluru ke dalam senjata mesin 50 kaliber sewaktu mengikuti pelatihan di Laut Tiongkok Selatan bersama Angkatan Laut A.S. pada bulan Juni 2014. [AFP]


2014 merupakan tahun yang membangkitkan kesadaran Jepang, Filipina dan Vietnam, bahwa mereka harus menghadapi pergerakan Tiongkok untuk menguasai kendali secara hukum dan strategis sepenuhnya atas Laut Tiongkok Selatan, salah satu urat nadi perdagangan terbesar di dunia.
“Ketegangan semakin tinggi. Pada bulan Agustus, pesawat pemburu Angkatan Laut Tiongkok terbang di atas kapal Angkatan Laut A.S,. P-8 Poseidon, nyaris menabraknya. Dua bulan sebelumnya [Juni], kapal laut bersenjata milik Tiongkok memburu dan menenggelamkan perahu nelayan milik Vietnam. Tiongkok juga berselisih dengan Jepang dan Filipina, dan berdasarkan kesepakatan, A.S. wajib untuk membela,” majalah National Geographic melaporkan tanggal 11 Desember tahun lalu.
Charles W. Freeman Jr., ketua bersama Yayasan Kebijakan A.S. Tiongkok dan pakar A.S terkemuka mengenai masalah Asia Timur, memberi tahu kepada Asia Pacific Defense Forum [APDF] bahwa keberhasilan ekonomi bangsa-bangsa Asia di timur laut, dipadukan dengan kurangnya struktur swa-regulasi yang efektif untuk menjaga keamanan, telah menciptakan dinamika yang berbahaya, yang mudah meledak dan tidak stabil di kawasan ini.
“Hari-hari belakangan ini, orang-orang yang membicarakan soal kawasan Indo-Pasifik – busur Asia dari Jepang melalui Tiongkok sampai ke Pakistan – selalu memulainya dengan mencermati, bahwa kawasan ini sudah menjadi pusat gravitasi ekonomi dunia. Itu memang betul. Ekonomi di kawasan ini sekarang kembali mencapai separuhnya dari perekonomian Amerika atau Eropa. Dari segi daya belinya, kawasan ini memiliki daya beli dua kali lebih besar. Wilayah ini mencakup hampir separuh manufaktur di dunia. Mereka semakin cepat tumbuh dibandingkan tempat-tempat lainnya," katanya.
Namun demikian, karena keberhasilan ini, "Kawasan Indo-Pasifik sudah menjadi terlalu besar dan dinamis untuk diatur oleh kekuatan di luar kawasan. Namun sayangnya, kawasan ini tidak efektif mengatur dirinya sendiri. Status quo ini tidak boleh berkelanjutan. Tatkala keseimbangan kekuatan di kawasan ini berkembang, risiko perang akibat kelengahan meningkat," Freeman memperingatkan.
Tiongkok memberlakukan peta 10-dash
2014 adalah tahun di mana Tiongkok menunjukkan secara jelas bahwa negara ini bertekad menegakkan kedaulatannya pada lebih dari 90 persen Laut Tiongkok Selatan, sebagaimana ditentukan oleh garis 10-dash secara unilateral.
Di bulan April, Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang memberi tahu kepada Forum Boao untuk Asia yang diselenggarakan oleh Tiongkok di Pulau Hainan, bahwa Beijing akan menanggapi secara tegas terhadap provokasi yang menghalangi perdamaian serta stabilitas di Laut Tiongkok Selatan.
Pada bulan Mei, Tiongkok menambatkan alat pengeboran minyak dalam laut, Hai Yang Shi 981 [HYSY981] ukuran raksasa ke lokasi dekat Kepulauan Paracel atau Xisha di Laut Tiongkok Selatan, menggarisbawahi klaimnya atas kedaulatan di daerah ini dan membuat Vietnam marah besar, yang juga memiliki klaim yang berbenturan.
Pada bulan Juni, kapal patroli Tiongkok memburu dan menenggelamkan kapal nelayan milik Vietnam di daerah tersebut.
Pada bulan Agustus, hampir terjadi tabrakan antara kapal tempur Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat [PLAN] dan pesawat pengintai A.S. P-8 Poseidon di ruang udara internasional.
Pada periode yang sama, Beijing meluncurkan program bangunan raksasa untuk meluaskan pulau-pulau kecil dan terumbu karang yang diklaimnya di Laut Tiongkok Selatan, menjadi pelabuhan dan lapangan udara besar yang dapat digunakannya untuk menunjang klaim hukumnya atas kedaulatannya dan untuk memproyeksikan kekuatan angkatan laut dan udara di daerah tersebut.
Tahun ini diakhiri dengan pernyataan Beijing yang secara jelas akan terus menolak upaya bangsa Filipina dan bangsa lainnya untuk mengarbitrase persengketaan mereka melalui sidang hukum internasional yang disepakati semua pihak.
Namun demikian, kebijakan aktivis ini membangkitkan reaksi strategis dari negara-negara besar lainnya di kawasan.
Para pemimpin baru melakukan pendekatan garis keras
Pada bulan Mei, pemimpin nasionalis Partai Bharatiya Janata [BJP] Narendra Modi memenangi pemilu secara telak di India. Ia kemudian menggalakkan program kerja sama perluasan pertahanan yang belum pernah dilakukan di waktu lalu, dengan Jepang dan Vietnam.
Di Indonesia, kandidat pilihan rakyat Joko Widodo memenangi pemilu kepresidenan secara tipis dan memangku jabatan presiden pada bulan Oktober. Ia kemudian menyambut rencana Tentara Nasional Indonesia [TNI] untuk mengadakan perubahan besar dalam arah strategis, yang berfokus pada pertahanan keutuhan wilayah serta keamanan maritim Indonesia. Kebijakan baru ini mengindikasikan bahwa Jakarta akan menolak klaim Tiongkok atas Kepulauan Natuna di Indonesia dan lingkungannya yang kaya dengan minyak bumi.
Khawatir akan gangguan Tiongkok ke wilayah maritim yang diklaim oleh Hanoi, Vietnam meninggalkan tradisi pengucilan yang menjadi kebanggaannya. Negara ini semakin dekat ke Filipina, Jepang dan India, serta mencari hubungan baru dengan Amerika Serikat.
Pada bulan Desember, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe memenangi lagi pemilu secara telak, yang merupakan salah satu yang terhebat dalam sejarah modern, yang memberikan kendali pada aliansi Partai Demokrasi Liberal-Komeito atas tiga perempat Diet, majelis utama parlemen Jepang. Kemenangan tersebut memberi Abe mandat yang diinginkannya untuk merevisi konstitusi Jepang, meluaskan Angkatan Pertahanan Udara dan Laut negara ini serta meluaskan penjualan senjata dan kapal perang kepada negara-negara tetangganya.
Tiongkok menolak arbitrase Laut Tiongkok Selatan
Pada akhir tahun, penolakan Tiongkok terhadap proses Pengadilan Permanen Arbitrase [PCA] untuk menyelesaikan sengketa wilayahnya di Laut Tiongkok Selatan dengan Filipina, menimbulkan kecemasan untuk tahun 2015, demikian yang diperingatkan oleh surat kabar Singapura, Straits Times, dalam tajuk editorial tanggal 23 Desember.
"Penolakan Tiongkok terhadap proses internasional yang diwakili oleh Pengadilan Permanen Arbitrase di Den Haag, merupakan hilangnya peluang dan akibat yang mengecewakan dari kekakuannya menghadapi sengketa Laut Tiongkok Selatan," kata surat kabar.
Para pakar lainnya mengeluarkan peringatan serupa.
“Perkembangan baru-baru ini di Laut Tiongkok Selatan, termasuk pengiriman alat pengeboran minyak Tiongkok ke Kepulauan Paracel dan untuk pengerjaan berbagai konstruksi yang terus berlangsung di Kepulauan Spratley, menunjukkan komitmen yang tidak seimbang atas status quo – atau ketiadaannya – oleh sebagian atau seluruh pihak,” Analis Vietnam, Truong-Minh Vu dan Trang Pham, dosen di Fakultas Hubungan Internasional, University of Social Sciences and Humanities di Ho Chi Minh City, menulis dalam The Diplomat tanggal 22 Desember.
"Tanpa garis dasar kesepakatan, negosiasi apa pun berada pada landasan yang rapuh. ASEAN dan Tiongkok telah melakukan serangkaian perundingan sejak kesimpulan Deklarasi Perilaku [DoC] 2002, tetapi prospek negosiasi ini menghasilkan Pedoman Perilaku yang sangat ditunggu-tunggu [untuk menyelesaikan sengketa wilayah Laut Tiongkok Selatan], tampaknya masih jauh,” tulis mereka.
“Tidak adanya ketertiban normatif di Laut Tiongkok Selatan akan membuka jalan untuk perseteruan resmi dan akademis pada tahun 2015,” Vu dan Pham memperingatkan.
Dengan menolak arbitrase hukum internasional maupun supranasional, “Tiongkok hanya sekadar menawarkan versi argumentasi lain, bahwa Laut Tiongkok Selatan adalah miliknya [sendiri], karena memang sudah begitu," Straits Times sependapat.
“Ini bukan situasi yang dapat dipertahankan," surat kabar itu memperingatkan.
Namun, sikap keras Tiongkok atas Laut Tiongkok Selatan telah terbukti merusak diri sendiri, Asia Times Online melaporkan tanggal 12 Desember.
Konflik Tiongkok dengan negara-negara tetangganya dan bebannya untuk mempertahankan kendalinya dalam peta 10-dash-nya merupakan area strategis dan kerentanan diplomatik utama, demikian disimpulkan surat kabar ini.
Semua ini adalah ulah Tiongkok sendiri, seorang analis keamanan Asia yang juga penulis, G. Chang, memberi tahu kepada APDF.
“Bagaimana caranya membelanjakan triliunan dolar, mengesalkan negara tetangga dan mengakibatkan keamanan berkurang? Tanyalah pada Beijing," katanya.



Credit APDForum