Rabu, 06 Maret 2019

Kisah Sniper Inggris Habisi 250 Militan ISIS di Suriah



Kisah Sniper Inggris Habisi 250 Militan ISIS di Suriah
Azad Cudi, 35, sniper Kurdi yang telah jadi warga Inggris. Dia mengklaim telah membunuh sekitar 250 militan ISIS saat beperang di Suriah. Foto/Publicity Picture/Mirror


LONDON - Azad Cudi, 35, sejatinya warga Kurdi Iran, namun kini jadi warga negara Inggris. Dia bercerita tentang misinya menjadi sniper atau penembak runduk di Suriah untuk memerangi kelompok Islamic State atau ISIS belum lama ini.
Dia merasa telah menghabisi sekitar 250 militan ISIS ketika dia beraksi sebagai sniper bersama pasukan Kurdi di Suriah.
Cudi melarikan diri dari negara asalnya, Iran, ke Inggris ketika dia berusia 19 tahun. Dia kala itu melarikan diri dari dinas militer Iran. Tak lama setelah jadi warga Inggris, Cudi pada tahun 2013 bergabung dengan tentara YPG—pasukan sukarela campuran pria dan wanita Kurdi yang berkomitmen untuk membebaskan Suriah dari kelompok ISIS.

Selama pertempuran untuk merebut kembali kota Kobani, Cudi mengklaim bahwa dia dan banyak sniper Kurdi lainnya telah membunuh ratusan militan ISIS. Pria 35 tahun ini akhirnya terluka parah dalam ledakan roket dan terpaksa pulang ke rumahnya di utara Inggris.

Pengalamannya sebagai sniper anti-ISIS di Suriah telah dia tulis dalam sebuah buku berjudul Long Shot.

Cudi mengaku terpaksa melarikan diri dari dinas militer Iran setelah dipaksa untuk berperang melawan orang-orang satu etnis dengannya, yakni Kurdi.

Ketika tinggal di Inggris, dia tertarik untuk bertempur di Suriah setelah melihat ISIS menguasai wilayah Kurdi di Suriah. Cudi kembali ke Timur Tengah untuk memerangi "kekhalifahan" ISIS yang sedang tumbuh. Setelah menjalani pelatihan singkat, dia maju di garis depan pertempuran melawan ISIS pada tahun 2013.

Dalam sebuah wawancara dengan Express yang dilansir Senin (4/3/2019), dia mengatakan; "Saya membela tanah saya, rakyat saya, warga sipil."

"Ada seorang anak laki-laki yang saya tembak. Saya tidak punya pilihan. Saya memiliki masalah dengan menyatukan diri setelah itu. Saya menembak seorang jihadis ketika dia memandang ke arah saya," ujarnya.

"Ketika saya menulis buku ini, saya menghidupkan kembali peristiwa itu dan kadang-kadang saya tidak bisa tidur selama tiga atau empat malam," lanjut dia.

"Saya sedikit lumpuh, kembali ke pikiran saya. Saya merasakan semacam penyesalan, tetapi saya tidak dihantui sekarang oleh pengalaman melakukan hal-hal itu," papar Cudi. 


"Saya sudah siap untuk mati saat itu dan saya siap untuk mati lagi untuk memperjuangkan rakyat saya, ide-ide kami dan komunitas kami. Saya memiliki kedamaian di hati dan pikiran saya," imbuh dia. "Menulis buku telah membantu saya mencerna apa yang terjadi, tetapi itu melelahkan."

Selama pertempuran, Cudi mengklaim telah menewaskan 250 teroris ISIS, meskipun dia juga mengatakan bahwa sniper lainnya membunuh sekitar 500 militan kelompok teror tersebut.

Dalam bukunya, Cudi juga berbicara tentang cedera akibat serangan roket yang dia alami. Luka itu yang membuatnya harus meninggalkan perang di Suriah dan pulang ke Inggris.

"Meskipun kematian sangat dekat Anda harus berpikir tentang bagaimana untuk bertahan hidup, sehingga Anda melawan. Anda juga harus menghadapi situasi sulit yang rumit, kehilangan kawan Anda dan menembak kawan secara tidak sengaja," imbuh dia.

"Semua orang mengatakan bahwa berlian dibuat di bawah tekanan dan saya pikir ada beberapa kebenaran di dalamnya," paparnya.

"Anda mengembangkan mekanisme bertahan hidup di dalam untuk mengatasinya. Anda berusaha untuk tidak hancur, jadi Anda menjaga kepala Anda tetap tinggi."

"Ketika saya dihantam, saya melihat warna kematian. Saya mengalami emosinya yang liar. Ini luar biasa untuk dialami dan Anda menghargai hidup dan memandang hidup dengan tujuan dan makna baru," tutur Cudi.

Sekarang, meskipun dia bahagia tinggal di Inggris, Cudi berharap akan kembali ke Kobani untuk membantu membangun kembali kota itu dari kerusakan akibat perang.

Dia khawatir bahwa pendukung ISIS dapat menyerang dirinya di rumahnya di Inggris, namun dia tidak takut. "Ada sel yang bisa tidur di mana saja, tetapi saya memiliki keamanan saya dan saya berhati-hati," katanya.

"Saya beruntung hidup dalam masyarakat yang terbuka dan demokratis, dan saya menghargai kehidupan saya di Inggris," paparnya.




Credit  sindonews.com