Rabu, 10 Desember 2014

2.500 Perahu Nelayan NTT Dimusnahkan Australia


Sejumlah kapal nelayan bersandar di Pelabuhan Perikanan Muara Baru, Jakarta, Jumat (5/9).(Republika/Prayogi)
Sejumlah kapal nelayan bersandar di Pelabuhan Perikanan Muara Baru, Jakarta, Jumat (5/9).(Republika/Prayogi)


CB, KUPANG -- Selama sembilan tahun terakhir (2005-2014), sekitar 2.500 perahu nelayan tradisional asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), telah dimusnahkan oleh Pemerintah Australia tanpa tuduhan yang jelas.
"Selain perahu, tidak sedikit nelayan tradisional asal provinsi kepulauan itu juga telah diadili dan menjalani hukuman dengan tuduhan memasuki wilayah perairan negara itu secara ilegal," kata Mantan Agen Imigrasi Australia Ferdi Tanoni di Kupang, Selasa.
"Memang banyak juga nelayan yang tidak diadili dan di deportasi kembali ke Indonesia, tetapi tidak sedikit yang menjalani proses hukum, sebelum di deportasi" katanya.
Ferdi Tanoni yang juga Pembela Nelayan Tradisional Laut Timor itu mengatakan, tuduhan Pemerintah Australia terhadap para nelayan tradisional itu sama sekali tidak mendasar.
Sebagai bukti, kata dia, pada bulan Juni 2014 lalu, Pengadilan Federal Australia di Darwin memenangkan perkara dari seorang nelayan asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dituduh Pemerintah Australia melanggar perairan namun tidak terbukti.
Pengadilan kemudian memerintahkan Pemerintah Australia untuk membayar ganti rugi kepada nelayan asal Kupang itu sebesar 60 ribu Dolar Australia atau sekitar Rp 660 juta.
Artinya, apa yang dituduhkan oleh Pemerintah Australia terhadap para nelayan tradisional selama sembilan tahun terakhir tidak mendasar.
Hanya saja, para nelayan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan upaya hukum dengan menggugat pemerintah di Pengadilan Federal Australia di Darwin, katanya.
Dia menambahkan, kalaupun para nelayan tradisional itu melanggar perairan negara itu, mestinya tidak perlu dihukum tetapi dikembalikan saja ke Indonesia. Alasannya karena para nelayan tradisional itu hanya mencari biota laut di perairan batas dua negara itu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
Para nelayan ini bukan merupakan bagian dari jaringan mafia pencurian ikan di wilayah perairan negara itu.
"Kalaupun mereka memasuki wilayah perairan Australia, mestinya aparat keamanan mengembalikan mereka ke Indonesia. Mereka nelayan-nelayan kecil bukan beroperasi dengan kapal-kapal raksasa mencuri ikan," kata Ferdi Tanoni.
Apalagi para nelayan ini sudah melakukan aktivitas dibatas dua negara itu sejak sekitar 400 tahun lalu secara turun temurun.


Credit REPUBLIKA.CO.ID