Kabul, Afghanistan, (CB) - Meskipun tantangan meningkat,
wartawati Afghanistan terus bekerja setiap hari, kata beberapa wartawati
selama wawancara dengan Xinhua belum lama ini.
Setelah jatuhnya Taliban, Afghanistan sekarang memiliki lebih dari 100 stasiun radio, hampir 80 jaringan televisi dan ratusan penerbitan. Namun, perempuan Afghanistan, di negara yang masih tidak aman, nyaris tak memiliki alasan untuk dirayakan sebab kehadiran mereka di media masih belum berjalan lancar.
Selama wawancara dengan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa malam, beberapa wartawati untuk satu-satunya surat kabar berbahasa Inggris yang dikelola negara "The Kabul Times" menuding sejumlah jenis ancaman, termasuk tradisi sosial yang kejam, sebagai tantangan bagi kehidupan dan pekerjaan mereka.
Massouda Qariszada, seorang wartawati dengan 10 tahun pengalaman kerja di berbagai media termasuk The Kabul Times, mengatakan penghalang budaya, kontrak yang berisi diskriminasi, lingkungan kerja yang berbahaya, persaingan yang tidak sehat di kalangan sesama pekerja dan lain-lain masih mengancam wartawati di Afghanistan.
Namun ia berkomitmen untuk takkan pernah tunduk pada ancaman apapun yang menghalangi dia bekerja di media massa.
"Saya mendapat dukungan penuh keluarga saya dan tidak bekerja untuk mencari uang, sebab saya tak memiliki masalah ekonomi. Saya bekerja untuk mewujudkan nilai pendidikan saya, dan saya mau bekerja untuk melayani bangsa saya," kata wartawati tersebut.
Buat sebagian perempuan dan anak perempuan, seperti Shukria Kohistan, seorang wartawati lain di surat kabar itu selama lebih dari 10 tahun, dunia jurnalistik berfungsi sebagai keinginan dan alat untuk membantu meningkatkan hak perempuan, sebab ia telah berbuat sangat banyak buat kaum perempuan, terutama dengan mewawancarai beberapa janda dan mengangkat suara serta kepedihan mereka.
Kohistan, yang menikmati dukungan keluarganya untuk bekerja di media massa, mengatakan bermacam ancaman dan intimidasi terhadap wartawati masih ada di masyarakat Afghanistan.
"Ketika saya keluar rumah untuk meliput satu peristiwa, orang akan berkata `mengapa seorang perempuan mesti menjadi wartawati, mereka mereka tidak tinggal di dalam rumah`," kata Kohistan.
Karima Malikzada, juru foto harian tersebut yang berkali-kali menerima ancaman pembunuhan dan intimidasi serius dari beberapa pria tak dikenal yang bersenjata, tak mempunyai cara lain kecuali terus bekerja sebab kedua orang tuanya terbunuh dalam perang saudara dan ia adalah satu-satunya pencari nafkah buat adik perempuannya, yang lama menderita sakit.
Hamidullah Arefi, Redaktur Pelaksana "The Kabul Times", mengatakan semua wartawati sangat berkomitmen pada pekerjaan mereka, "meskipun mereka menghadapi penghalang sosial saat melakukan peliputan dari daerah tersebut".
Mereka juga menerima pelatihan dari surat kabar itu, sehingga mereka bisa meningkatkan kemampuan mereka dan melaporkan berita mengenai negeri mereka dengan cara yang netral dan bertanggung-jawab, kata Arefi.
Setelah jatuhnya Taliban, Afghanistan sekarang memiliki lebih dari 100 stasiun radio, hampir 80 jaringan televisi dan ratusan penerbitan. Namun, perempuan Afghanistan, di negara yang masih tidak aman, nyaris tak memiliki alasan untuk dirayakan sebab kehadiran mereka di media masih belum berjalan lancar.
Selama wawancara dengan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa malam, beberapa wartawati untuk satu-satunya surat kabar berbahasa Inggris yang dikelola negara "The Kabul Times" menuding sejumlah jenis ancaman, termasuk tradisi sosial yang kejam, sebagai tantangan bagi kehidupan dan pekerjaan mereka.
Massouda Qariszada, seorang wartawati dengan 10 tahun pengalaman kerja di berbagai media termasuk The Kabul Times, mengatakan penghalang budaya, kontrak yang berisi diskriminasi, lingkungan kerja yang berbahaya, persaingan yang tidak sehat di kalangan sesama pekerja dan lain-lain masih mengancam wartawati di Afghanistan.
Namun ia berkomitmen untuk takkan pernah tunduk pada ancaman apapun yang menghalangi dia bekerja di media massa.
"Saya mendapat dukungan penuh keluarga saya dan tidak bekerja untuk mencari uang, sebab saya tak memiliki masalah ekonomi. Saya bekerja untuk mewujudkan nilai pendidikan saya, dan saya mau bekerja untuk melayani bangsa saya," kata wartawati tersebut.
Buat sebagian perempuan dan anak perempuan, seperti Shukria Kohistan, seorang wartawati lain di surat kabar itu selama lebih dari 10 tahun, dunia jurnalistik berfungsi sebagai keinginan dan alat untuk membantu meningkatkan hak perempuan, sebab ia telah berbuat sangat banyak buat kaum perempuan, terutama dengan mewawancarai beberapa janda dan mengangkat suara serta kepedihan mereka.
Kohistan, yang menikmati dukungan keluarganya untuk bekerja di media massa, mengatakan bermacam ancaman dan intimidasi terhadap wartawati masih ada di masyarakat Afghanistan.
"Ketika saya keluar rumah untuk meliput satu peristiwa, orang akan berkata `mengapa seorang perempuan mesti menjadi wartawati, mereka mereka tidak tinggal di dalam rumah`," kata Kohistan.
Karima Malikzada, juru foto harian tersebut yang berkali-kali menerima ancaman pembunuhan dan intimidasi serius dari beberapa pria tak dikenal yang bersenjata, tak mempunyai cara lain kecuali terus bekerja sebab kedua orang tuanya terbunuh dalam perang saudara dan ia adalah satu-satunya pencari nafkah buat adik perempuannya, yang lama menderita sakit.
Hamidullah Arefi, Redaktur Pelaksana "The Kabul Times", mengatakan semua wartawati sangat berkomitmen pada pekerjaan mereka, "meskipun mereka menghadapi penghalang sosial saat melakukan peliputan dari daerah tersebut".
Mereka juga menerima pelatihan dari surat kabar itu, sehingga mereka bisa meningkatkan kemampuan mereka dan melaporkan berita mengenai negeri mereka dengan cara yang netral dan bertanggung-jawab, kata Arefi.
Credit antaranews.com