Jakarta (CB) - Pemerintah Amerika Serikat melakukan berbagai upaya agar proyek Naval Medical Research Unit 2 (NAMRU-2) bisa dilanjutkan di Indonesia menyusul terbongkarnya proyek tersebut berkat keberanian dan kegigihan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari pada 2008.

Hal tersebut mengemuka dan menjadi topik pembahasan hangat oleh para peserta dari berbagai latar belakang dalam seminar terbatas yang bertajuk "Strategi Mencegah Dibukanya Kembali NAMRU-2 AS di Indonesia" dan diselenggarakan oleh Global Future Institute (GFI) baru-baru ini.

Letnan Jenderal Marinir (Purn) Suharto yang menjadi salah seorang pembicara mengatakan negara-negara asing mengincar Indonesia yang memiliki posisi strategis untuk menanamkan pengaruhnya dan memanfaatkan sumber daya alamnya yang kaya karena mereka mengetahui "kita tidak mempunyai "rencana kontijensi".

"Ketiadaan rencana kontijensi ini dipelajari pihak luar dan membuka jalan bagi negara-negara lain termasuk Amerika Serikat dengan Namru-nya ingin masuk lagi dan bisa berbuntut panjang," kata Suharto.

Pada 2012, GFI sempat melansir sebuah informasi dari lingkar dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa Indonesia, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri, sedang mempersiapkan sebuah nota kesepakatan baru dengan pihak pemerintah AS mengenai keberlanjutan proyek NAMRU-2 di Indonesia.

Kesepakatan baru RI-AS itu pada intinya akan mengizinkan kembali proyek NAMRU-2 di Indonesia. Menurut informasi sumber internal Departemen Luar Negeri, AS mendesak Indonesia untuk membuka kembali proyek penelitian NAMRU-2 dengan dalih semakin menyebarnya virus HINI sebagai penyebab flu babi di dunia, sehingga keberlanjutan penelitian NAMRU-2 dalam bidang penyakit menular semakin penting untuk dibuka kembali di Indonesia.

NAMRU-2 adalah unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada di Indonesia untuk mengadakan penelitian mengenai penyakit menular. Namun keberadaannya dinilai tidak terlalu memberikan manfaat kepada Indonesia.

Menurut investigasi yang mulai dilakukan Hendrajit, Direktur Eksekutif GFI pada 2007, diperoleh informasi bahwa sebelum menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menghentikan aktivitas NAMRU-2 AS di Indonesia, terungkap bahwa laboratorium penelitian NAMRU-2 yang berlokasi di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, telah menjadi markas terselubung intelijen Angkatan Laut AS dalam pengembangan senjata biologis pemusnah massal.

Paralel dengan itu, penyebaran penyakit menular ketika itu, seperti flu burung, pada hakekatnya merupakan penyakit hasil rekayasa yang ditujukan sebagai kelinci percobaan. Meskipun Hendrajit waktu menulis kali pertama tentang NAMRU-2 AS masih pada taraf eksplorasi, sudah jelas adanya indikasi kuat bahwa keberadaan proyek NAMRU-2 AS dan keterlibatan intelijen Angkatan Laut AS telah memicu kecurigaan berbagai kalangan pemerintah bahwa Amerika telah melanggar kedaulatan wilayah RI karena telah menggunakan fasilitas yang diberikan Departemen Kesehatan untuk tujuan-tujuan terselubung yang tak ada kaitannya dengan pembangunan dan pengembangan bidang kesehatan di Indonesia.

Hal ini semakin dipertegas oleh Menteri Kesehatan Fadillah bahwa NAMRU-2 tidak memberikan manfaat apa pun kepada bangsa Indonesia. Terbukti pengetahuan tentang penyakit menular seperti TBC dan demam berdarah yang dimiliki para dokter Indonesia malah justru mandek dan tidak ada perkembangan kemajuan.

Lebih lanjut pihak Amerika mengakui bahwa NAMRU-2 telah memberikan pelatihan dan peralatan bagi Departemen Kesehatan untuk meneliti wabah demam berdarah di Palembang, Yogyakarta, Medan, Jakarta dan Bandung. Namun, temuan pada 2007 mengungkap adanya indikasi keterlibatan operasi intelijen Angkatan Laut Amerika untuk pengembangan senjata biologis dengan berkedok sebagai penelitian mengenai penyakit menular.

Sebuah investigasi yang diprakarsai oleh Hendrajit pada 2007 baru menjadi pemberitaan berbagai media massa nasional Indonesia setahun kemudian. Terbukti pada 2008 Menkes Supari yang berlatar belakang sebagai peneliti secara resmi menutup semua kegiatan proyek NAMRU-2 di Indonesia.



Pandangan dan sikap beragaam

Sayangnya, di kalangan jajaran pemerintahan maupun elit politik Indonesia ketika itu sepertinya tidak mempunyai pandangan dan sikap yang sama terhadap keberlanjutan proyek NAMRU-2 di Indonesia.

Beberapa anggota Komisi I DPR, misalnya, mewakili pandangan bahwa keberadaan Namru-2 di Indonesia tidak ada masalah. Bahkan ada yang berpandangan DPR tidak khawatir penelitian NAMRU-2 merugikan Indonesia. Karena itu, DPR mengirim surat kepada menteri luar negeri dan melalui surat itu meminta perundingan kerja sama antara Indonesia dan Amerika segera diselesaikan dan menutup celah-celah dari perjanjian yang bisa merugikan. Dengan kata lain, sudah ada niat agar kebijakan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menutup semua kegiatan NAMRU-2 AS di Indonesia dibatalkan.

Maka dari itu, berbagai komponen bangsa terutama pemangku kepentingan kebijakan luar negeri maupun kesehatan, hendaknya semakin meningkatkan intensitas kewaspadaannya terhadap berbagai upaya pemerintah AS untuk menghidupkan kembali proyek NAMRU-2 atau proyek dengan nama lain namun pada hakekatnya sama dengan NAMRU-2, yaitu menjadikan laboratorium penelitian penyakit menular sebagai kedok dari operasi intelijen asing yang bukan untuk tujuan pengembangan temuan-temuan baru mengatasi berbagai penyakit menular di bidang kesehatan. Melainkan untuk tujuan-tujuan militer asing seperti AS.

Maka dari itu, secara khusus, Hendrajit, sebagai direktur ekskutif dari GFI mencermati dengan seksama keberadaan "The Armed Forces Research Institute of Medical Services (AFRIMS)" yang ditengarai sebenarnya merupakan proyek yang sama persis dengan NAMRU-2.

Informasi ini, meski masih perlu eksplorasi dan investigasi secara lebih mendalam, tentu saja sungguh mengkhawatirkan. Apalagi ketika proyek AFRIMS ini menurut informasi yang berhasil dihimpun tim riset GFI, sudah menyebar ke beberapa negara di kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam, Laos, Singapura, Thailand dan Filipina.

Dalam kemungkinan penyebarannya di Indonesia, nampaknya hal ini pun harus segera dilakukan beberapa langkah pencegahan. Mengingat kenyataan bahwa pada 2012, pemerintah Presiden SBY dan pemerintah AS telah mengadakan nota kesepakatan untuk membuka kembali proyek NAMRU-2 AS.

Berdasarkan kerangka kerja sama seperti itu, mungkinkah NAMRU-2 AS sebenarnya sudah dilanjutkan kembali di Indonesia dengan menggunakan skema AFRIMS tersebut di atas?

Belajar dari pengalaman pahit pada 2009, sudah seharusnya para pemimpin Indonesia khususnya dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri dan kementerian-kementerian terkait bersepakat dan bersatu padu untuk menolak kesepakatan baru RI-AS mengenai keberadaan NAMRU-2 AS di Indonesia.

Para peserta sepakat semua pihak di dalam negeri dan juga para diplomat Indonesia harus waspada terhadap usaha negara-negara lain atau lembaga-lembaga luar negeri untuk melakukan riset terselubung dan Indonesia harus memiliki payung hukum sebagai rujukan dan landasan bersama sehingga tak terulang.