PM Australia Malcolm Turnbull dan Presiden RI Joko Widodo. (Reuters/David Moir)
Pakar batas maritim I Made Andi Arsana menuturkan pada era 1970-an, saat konvensi hukum laut yang berlaku adalah United Nation Convention Law of the Sea (UNCLOS) 1958, di kawasan terdapat tiga negara yakni Indonesia, Australia dan Timor Portugis.
"Dalam membuat kesepakatan perbatasan, tiga-tiganya harus terlibat. Namun sayangnya saat itu, Timor Portugis tidak mau terlibat saat rencana negosiasi dilontarkan saat itu. Sehingga yang menetapkan batas maritim pertama kali adalah Indonesia dan Australia," kata Dosen Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mata (UGM) tersebut.
Kesepakatan tersebut diteken pada 1972 dan telah diratifikasi kedua negara. "Pada 1972, kesepakatan Indonesia-Australia hanya dasar laut. Air lautnya tidak dibagi karena hukum laut yang berlaku saat itu, UNCLOS 1958," kata Andi, pakar aspek geospasial hukum laut.
Adapun pada 1975, Timor Leste bergabung dengan Indonesia. Kawasan yang tadinya belum disepakati perbatasannya, dengan berbagai dinamika menjadi batas yang kemudian disepakati pada Perth Treaty 1997.
Namun berbeda dengan Kesepakatan Batas Maritim RI-Australia 1972, Kesepakatan Batas Maritim Indonesia-Australia 1997 atau yang dikenal dengan Perth Treaty 1997 yang diteken pada 14 Maret 1997 di Kota Perth, Australia itu belum menjadi hukum karena belum diratifikasi.
Timor Leste pun melepaskan diri dari Indonesia pada 2002. Negara itu pun telah menandatangani kesepakatan baru dengan Australia di New York 6 Maret lalu.
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Damos Domuli Agusman memastikan bahwa Perth Treaty 1997 itu belum diratifikasi oleh kedua negara dan tidak dapat diratifikasi Indonesia karena mengandung wilayah Timor Leste.
"Belum diratifikasi oleh kedua negara dan dalam perjalanannya perjanjian ini tidak dapat diratifikasi karena mencakup area yang menjadi wilayah Timur Leste dan merupakan obyek konsiliasi antara Australia dan Timur Leste," kata Damos di Jakarta, Senin (12/3). Menurutnya, pihak Australia pun mengetahui hal tersebut.
Menurut Andi, meski tanpa kesepakatan Timor Leste dan Australia, Perth Treaty 1997 harus dinegosiasi ulang. Bukan karena 'dapat apa' tapi semata lantaran batas wilayah yang disepakati telah berubah.
"Ketika Timor Leste merdeka, ada yang harus direvisi pada perjanjian 1997 karena membagi kawasan yang bukan menjadi bagian Indonesia lagi," kata Andi. "Ini adalah konsekuensi logis legal dari perubahan geopolitik," kata Andi.
Meski hukum internasional mengatur bahwa perjanjian batas umumnya tidak direvisi. Namun, Perth Treaty 1997 belum 'penuh' sebagai sebuah traktat karena belum diratifikasi. Sebuah perjanjian batas wilayah baru sah, jika dokumen ratifikasi atau persetujuan parlemen telah diserahkan ke masing-masing negara.
Walaupun Australia memahami hal tersebut, menurut Andi, wacana membuka kembali negosiasi bisa membuat resah Australia. Pasalnya, banyak hal bisa terjadi dalam sebuah perundingan perbatasan.
Jika Indonesia dan Australia sepakat untuk merundingkan ulang batas wilayah maritim, maka hal itu pun tersebut harus menunggu ratifikasi traktat delimitasi Timor Leste-Australia yang baru diteken.
Credit cnnindonesia.com