CB, Jakarta - Indonesia menyambut baik penggunaan jalan damai, yang dilakukan Timor Leste
dan Australia dalam menyelesaikan sengketa perbatasan maritim kedua
negara tersebut, yang sudah berlangsung lama. Australia dan Timor Leste
pada Rabu, 7 Maret 2018, telah sepakat menandatangani perjanjian
berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 untuk menyelesaikan sengketa
perbatasan tersebut.
Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam keterangan yang dipublikasi pada Rabu, 7 Maret 2018, mengatakan meskipun Indonesia bukan merupakan pihak dalam proses rekonsiliasi, namun Indonesia memiliki kewajiban untuk mengamati secara seksama proses rekonsiliasi ini dan berupaya memastikan, konsiliasi tidak akan berdampak pada hak-hak maritim Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir usai press briefing di Ruang Palapa Kemlu, Pejambon, Jakarta, 18 Januari 2017. TEMPO/Yohanes Paskalis
Indonesia menegaskan lantaran selama ini bersifat rahasia, pemerintah
Indonesia baru akan mempelajari secara rinci perjanjian yang
ditandatangani tersebut setelah dokumen ini dibuka untuk pubik.
Pemerintah Indonesia berhak mereservasi hak-haknya atas hasil konsiliasi
ini yang mungkin dapat mempengaruhi hak berdaulat Indonesia berdasarkan
Konvensi Hukum Laut 1982.
“Pakta ini mewakili pentingnya aturan dan manfaat bagi seluruh pihak secara jangka panjang sesuai dengan aturan. Menciptakan pakta ini membutuhkan kompromi dan niat baik kedua belah pihak. Ini adalah contoh bagi negara manapun terkait bagaimana hukum internasional melindungi kepentingan-kepentingan kita,” kata Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, seperti dikutip dari www.news.com.au, Rabu, 7 Maret, 2018.
Keputusan Australia dan Timor Leste untuk mengakhiri sengketa perbatasan laut ini adalah sebuah gerakan yang bisa membuka masuknya keuntungan bernilai miliaran dollar bagi kedua negara dari pengelolaan minyak lepas pantai dan gas alam. Melalui pakta perdamaian ini juga diharapkan bisa mendorong perekonomian Timor Leste, yang sejak berpisah dari Indonesia terus terseok-seok.
Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam keterangan yang dipublikasi pada Rabu, 7 Maret 2018, mengatakan meskipun Indonesia bukan merupakan pihak dalam proses rekonsiliasi, namun Indonesia memiliki kewajiban untuk mengamati secara seksama proses rekonsiliasi ini dan berupaya memastikan, konsiliasi tidak akan berdampak pada hak-hak maritim Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir usai press briefing di Ruang Palapa Kemlu, Pejambon, Jakarta, 18 Januari 2017. TEMPO/Yohanes Paskalis
“Pakta ini mewakili pentingnya aturan dan manfaat bagi seluruh pihak secara jangka panjang sesuai dengan aturan. Menciptakan pakta ini membutuhkan kompromi dan niat baik kedua belah pihak. Ini adalah contoh bagi negara manapun terkait bagaimana hukum internasional melindungi kepentingan-kepentingan kita,” kata Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, seperti dikutip dari www.news.com.au, Rabu, 7 Maret, 2018.
Keputusan Australia dan Timor Leste untuk mengakhiri sengketa perbatasan laut ini adalah sebuah gerakan yang bisa membuka masuknya keuntungan bernilai miliaran dollar bagi kedua negara dari pengelolaan minyak lepas pantai dan gas alam. Melalui pakta perdamaian ini juga diharapkan bisa mendorong perekonomian Timor Leste, yang sejak berpisah dari Indonesia terus terseok-seok.
Credit TEMPO.CO