Kamis, 07 September 2017

Pengungsi Rohingya dekati 150.000, PBB ingatkan risiko bencana


Pengungsi Rohingya dekati 150.000, PBB ingatkan risiko bencana
Seorang perempuan pengungsi Rohingya menangis setelah menyebrangi perbatasan Bangladesh-Myanmar menggunakan perahu melalui Teluk Benggala di Teknaf, Bangladesh, Selasa (5/9/2017). (REUTERS/Mohammad Ponir Hossain/djo/17)


Yangon/Shamlapur, Bangladesh (CB) - Hampir 150.000 Muslim Rohingya telah meninggalkan Myanmar menuju Bangladesh dalam waktu kurang dari dua pekan menurut para pejabat pada Rabu, setelah pemimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan risiko pembersihan etnis di Myanmar yang bisa merusak stabilitas kawasan yang lebih luas.

Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menyalahkan "teroris" atas "gunung es besar informasi keliru" mengenai kekerasan di Rakhine State namun dia tidak menyebut eksodus Rohingya sejak kekerasan meletus di sana pada 25 Agustus.

Dia menghadapi peningkatan tekanan dari negara-negara berpenduduk Muslim, termasuk Indonesia, tempat ribuan warga Muslim berunjuk rasa menuntut pemutusan hubungan diplomatik dengan Myanmar.

Dalam surat langkanya ke Dewan Keamanan PBB pada Selasa, Sekretaris Jenderal Antonio Guterres menyampaikan kekhawatiran kekerasan di Rakhine berubah menjadi "bencana kemanusiaan".

Wartawan kantor berita Reuters di daerah miskin Cox’s Bazar di negara tetangga Bangladesh menyaksikan perahu-perahu penuh Muslim Rohingya kelelahan tiba di desa perbatasan Shamlapur.

Menurut estimasi terkini para pegawai PBB yang bertugas di Cox's Bazar, pendatang yang tiba hanya dalam waktu 12 hari jumlahnya mencapai 146.000.

Ini menambah jumlah total jumlah warga Rohingya yang mencari perlindungan di Bangladesh sejak Oktober tahun lalu menjadi 233.000.

Pendatang Rohingya yang baru memberi tahu pihak berwenang bahwa tiga perahu yang membawa 100 orang lebih terbalik pada awal Rabu.

Komandan penjaga pantai M.S. Kabir mengatakan enam jasad, termasuk jasad anak, telah ditemukan terdampar di pantai.

Peningkatan kedatangan pengungsi, banyak di antaranya sakit atau terluka, menekan lembaga-lembaga bantuan dan warga yang sudah membantu ratusan ribu pengungsi yang lari dari kekerasan sebelumnya di Myanmar.

Banyak pengungsi yang tidak punya tempat berlindung dan badan-badan bantuan berpacu untuk menyediakan air bersih, sanitasi dan makanan.

"Orang-orang datang hampir tanpa membawa apa pun, jadi harus ada makanan," kata sumber PBB yang bekerja di sana.

"Jadi sekarang kekhawatiran besarnya – dari mana makanan untuk setidaknya orang-orang lanjut usia, anak-anak, perempuan yang datang tanpa suami mereka?"


"Informasi Palsu"


Suu Kyi berbicara lewat telepon dengan Presiden Turki Tayyip Erdogan, yang menekan dia untuk lebih banyak bekerja membantu 1,1 juta warga Rohingya yang menurut dia menghadapi genosida.

Dalam pernyataan yang disampaikan kantornya di Facebook, Suu Kyi mengatakan pemerintah "sudah mulai membela semua orang di Rakhine dengan cara terbaik yang mungkin" dan memperingatkan kesalahan informasi yang bisa merusak hubungan negara dengan negara lain.

Dia merujuk pada gambar-gambar pembunuhan di Twitter yang diunggah wakil perdana menteri Turki namun kemudian dihapus karena ternyata bukan dari Myanmar.

"Dia mengatakan bahwa informasi palsu semacam yang ditampilkan wakil perdana menteri itu hanya puncak dari gunung es besar informasi keliru yang disengaja untuk menciptakan banyak masalah antara negara-negara berbeda dan ditujukan untuk mempromosikan kepentingan para teroris," menurut pernyataan kantornya.

Suu Kyi pada Rabu bertemu dengan Perdana Menteri India Narendra Modi, yang mengatakan bahwa dia memiliki keprihatinan sama dengan Myanmar mengenai "kekerasan ekstremis" di Rakhine State.

Pemerintahan Modi mengambil langkah tegas mengenai gelombang pengungsian sekitar 40.000 dari Myanmar selama bertahun-tahun, bulan lalu berikrar mendeportasi mereka semua.

Kekerasan terkini di Rakhine State bermula ketika pemberontak Rohingya menyerang puluhan pos polisi dan satu pangkalan angkatan darat.

Bentrok-bentrok lanjutannya dan serangan balasan dari militer telah menewaskan sedikitnya 400 orang dan memicu pengungsian warga desa-desa di sana ke Bangladesh.

Para pejabat di Bangladesh mengatakan pemerintah akan memajukan rencana menjadikan satu pulau terasing yang bebas banjir di Bay of Bengal untuk sementara menampung puluhan ribu warga Rohingya.

Rencana untuk membangun pulau dan menjadikannya sebagai tempat menampung pengungsi dikritik oleh pekerja kemanusiaan ketika diusulkan tahun 2015 dan dihidupkan lagi tahun lalu. Bangladesh berkeras mereka berhak memutuskan di mana mereka akan menampung pengungsi.

Sementara itu, dua sumber pemerintah di Dhaka mengatakan bahwa dalam tiga hari terakhir ada ladang ranjau di perbatasan Myanmar dengan Bangladesh dan menyebut itu ditujukan untuk mencegah kembalinya Muslim Rohingya yang mengungsi.

Bangladesh akan secara formal mengajukan protes pada Rabu mengenai penempatan ranjau di dekat perbatasannya menurut sumber yang secara langsung mengetahui situasi itu namun minta identitasnya tidak disebut karena kepekaan masalah itu.

Namun sumber militer Myanmar mengatakan ladang ranjau sudah ada di sepanjang perbatasan itu pada 1990an untuk mencegah pelanggar batas dan militer sejak itu berusaha mencabutnya, namun tidak ada ranjau yang baru-baru ini ditanam, demikian menurut siaran kantor berita Reuters.




Credit  antaranews.com