CARACAS
- Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, telah mendesak angkatan
bersenjata nasional "siap" untuk mempertahankan kedaulatan dan rakyat
negara tersebut. Hal itu dilakukan di tengah ancaman oleh Amerika
Serikat (AS).
"Kami secara terang-terangan terancam oleh kerajaan kriminal paling banyak dalam sejarah umat manusia," kata Maduro, merujuk pada AS seperti dikutip dari Russia Today, Kamis (28/9/2017).
Pemimpin Venezuela tersebut menyampaikan sebuah pidato di parade militer yang diadakan di pangkalan udara El Libertador di negara bagian Aragua. Parade itu dilakukan dalam rangka memperingati pembentukan Komando Strategis Operasional angkatan bersenjata Venezuela.
Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa Angkatan Darat Venezuela harus menjamin perlindungan dan memiliki senapan, rudal serta tank yang siap "diminyaki" untuk melindungi setiap inci wilayah Venezuela.
"Masa depan kemanusiaan tidak bisa terletak pada ancaman serangan nuklir atau invasi militer," kata pemimpin Venezuela tersebut dalam pidatonya. Sebaliknya, hubungan internasional harus didasarkan pada rasa hormat dan solidaritas.
Maduro juga mengatakan bahwa negaranya tidak mengebom siapa pun atau mencampuri urusan dalam negeri negara manapun.
Komentar tersebut muncul di tengah cukup rendahnya hubungan antara kedua negara. Ketegangan memuncak menyusul pemilihan Majelis Konstituante Venezuela pada bulan Juli lalu. AS menyebut pemilihan tersebut tidak sah, menuduh kepemimpinan Venezuela "meremehkan demokrasi."
Meskipun pemilihan diadakan setelah berbulan-bulan demonstrasi jalanan dan bentrokan, lebih dari 8 juta orang berpartisipasi di dalamnya, memberikan suara mereka untuk 545 kandidat yang bertugas menyusun undang-undang dasar baru. Di tengah demonstrasi, Maduro dan juga pejabat lainnya mengklaim bahwa kerusuhan tersebut sebagian disebabkan oleh AS.
Setelah pemilihan, AS memberlakukan beberapa putaran sanksi terhadap Venezuela, terutama yang menargetkan sektor energi di negara kaya minyak ini. Baru-baru ini, Presiden AS Donald Trump menambahkan negara Amerika Selatan itu melakukan larangan terbang baru bersama Korea Utara (Korut), dengan alasan "ancaman terorisme".
Pada hari Selasa, Trump juga meminta Uni Eropa untuk bergabung dalam menjatuhkan sanksi kepada pemerintah Maduro. Tindakan AS memicu kemarahan Venezuela, yang menyebut tindakan Washington sebagai terorisme politik dan psikologis serta agresi.
Menteri luar negeri Venezuela, Jorge Arreaza, mencerca Trump dalam sebuah postingan di Twitter. Arreaza menuduh Trump mendedikasikan dirinya secara obsesif untuk menyerang Venezuela alih-alih menangani kebutuhan orang-orang di Puerto Rico yang dilanda badai.
"Kami secara terang-terangan terancam oleh kerajaan kriminal paling banyak dalam sejarah umat manusia," kata Maduro, merujuk pada AS seperti dikutip dari Russia Today, Kamis (28/9/2017).
Pemimpin Venezuela tersebut menyampaikan sebuah pidato di parade militer yang diadakan di pangkalan udara El Libertador di negara bagian Aragua. Parade itu dilakukan dalam rangka memperingati pembentukan Komando Strategis Operasional angkatan bersenjata Venezuela.
Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa Angkatan Darat Venezuela harus menjamin perlindungan dan memiliki senapan, rudal serta tank yang siap "diminyaki" untuk melindungi setiap inci wilayah Venezuela.
"Masa depan kemanusiaan tidak bisa terletak pada ancaman serangan nuklir atau invasi militer," kata pemimpin Venezuela tersebut dalam pidatonya. Sebaliknya, hubungan internasional harus didasarkan pada rasa hormat dan solidaritas.
Maduro juga mengatakan bahwa negaranya tidak mengebom siapa pun atau mencampuri urusan dalam negeri negara manapun.
Komentar tersebut muncul di tengah cukup rendahnya hubungan antara kedua negara. Ketegangan memuncak menyusul pemilihan Majelis Konstituante Venezuela pada bulan Juli lalu. AS menyebut pemilihan tersebut tidak sah, menuduh kepemimpinan Venezuela "meremehkan demokrasi."
Meskipun pemilihan diadakan setelah berbulan-bulan demonstrasi jalanan dan bentrokan, lebih dari 8 juta orang berpartisipasi di dalamnya, memberikan suara mereka untuk 545 kandidat yang bertugas menyusun undang-undang dasar baru. Di tengah demonstrasi, Maduro dan juga pejabat lainnya mengklaim bahwa kerusuhan tersebut sebagian disebabkan oleh AS.
Setelah pemilihan, AS memberlakukan beberapa putaran sanksi terhadap Venezuela, terutama yang menargetkan sektor energi di negara kaya minyak ini. Baru-baru ini, Presiden AS Donald Trump menambahkan negara Amerika Selatan itu melakukan larangan terbang baru bersama Korea Utara (Korut), dengan alasan "ancaman terorisme".
Pada hari Selasa, Trump juga meminta Uni Eropa untuk bergabung dalam menjatuhkan sanksi kepada pemerintah Maduro. Tindakan AS memicu kemarahan Venezuela, yang menyebut tindakan Washington sebagai terorisme politik dan psikologis serta agresi.
Menteri luar negeri Venezuela, Jorge Arreaza, mencerca Trump dalam sebuah postingan di Twitter. Arreaza menuduh Trump mendedikasikan dirinya secara obsesif untuk menyerang Venezuela alih-alih menangani kebutuhan orang-orang di Puerto Rico yang dilanda badai.
Dia juga mengkritik presiden AS karena posisi intervensi dan dukungannya terhadap elemen kekerasan dan ekstrimis di Venezuela.
Credit sindonews.com