Pemerintah Kanada mengecam peningkatan anti-imigran namun dianggap terlalu lambat bertindak. (Reuters/Mathieu Belanger)
Pada Senin (30/1) Mohamed Labidi, wakil presiden Pusat Kebudayaan Islam dan masjid yang diserang, bergabung dengan sejumlah pemimpin agama dan politik untuk menyatakan bela sungkawa pada korban tewas dan bersatu melawan sikap kebencian.
Juni tahun lalu, satu plastik berisi kepala babi diletakkan di pintu masuk masjidnya. Bersama dengan kepala babi, ada tulisan: “bon appetit” atau selamat makan dalam bahasa Perancis, yang jelas merupakan provokasi atas ajaran Islam yang melarang mengkonsumsi babi.
Aksi itu hanya salah satu dari sejumlah aksi kebencian lain mulai dari gambar swastika di tembok hingga poster anti-Islam dan akhirnya berpuncak pada penembakan pada Minggu (29/1) yang menewaskan enam orang dan melukai 8 lainnya.
“Semua itu mengawali serangan tersebut,” ujar Labidi.
“Sudah sejak lama kami merasakan ada perubahan arah angin, meningkat,” kata Mohamed Ali Saidane, anggota majlis masjid yang kehilangan sanak saudaranya dalam penembakan itu.
“Para saksi mengatakan aksi itu dilakukan di depan anak-anak yang berteriak ketakutan melihat orang tua mereka dibunuh,” ujarnya.
Perdana Menteri Justin Trudeu menyatakan penembakan itu “aksi teror yang dilakukan terhadap Kanada dan warga Kanada.” Trudeau berupaya meyakinkan masyarakat minoritas Muslim bahwa mereka mendapat dukungan dari mayoritas warga Kanada.
Wali Kota Queebec City Rejis Labeaume juga mengirim pesan yang sama.
“Tidak hanya komunitas Muslim yang terkena dampaknya. Kami, warga kota Queebec, pun terkena dampaknya,” ujarnya dengan suara hampir menangis.
“Kami semua bersedih. Kami harus saling membantu.”
Kebangkitan anti-Islam
Kanada yang sejak lama mendukung pluralisme dan merupakan salah satu negara di dunia yang sangat menerima kedatangan imigran, terkejut dengan serangan mematikan pada Minggu itu.
“Semua menjadi korban, semua terkena dampaknya,” ujar Philippe Couillard, perdana menteri negara bagian Queebec.
Tetapi bagi banyak pihak di negara-negara Islam, serangan ke masjid Quebec City ini hanya aksi paling baru dari kejahatan berdasarkan kebencian terhadap pemeluk agama Islam.
“Pembunuhan, pembantaian oleh ISIS di Perancis…menambah rasa kebencian terhadap Islam di seluruh dunia, termasuk Quebec,” kata Saidane kepada kantor berita Perancis AFP.
Labidi mengakui bahwa peningkatan serangan kaum jihadis di negara-negara barat memang telah meningkatkan perasaan anti-Muslim di Kanada.
Tetapi dia menambahkan, “Secara umum, warga Quebec sangat terbuka dan memiliki rasa toleransi tinggi.”
Dia meminta media untuk tidak mendorong sentimen anti-Muslim, dia merujuk pada stasion radio di Quebec yang dituduh menyebarkan retorika kebencian terhadap kelompok-kelompok minoritas.
“Mereka menciptakan iklim yang sangat negatif” sehingga rasa benci pun berkembang, tambah Saidane. “Sejumlah pembawa acara radio itu menjadi promotor kebencian.”
Perdana Menteri negara bagian Quebec Couillard mengakui bahwa kebebasan bereksperesi telah menciptakan ruang bagi retorika “keterlaluan” yang diarahkan pada kelompok minoritas Kanada.
Pihak
berwenang menangkap seorang mahasiswa pendukung gerakan ekstrim kanan
sebagai tersangka pelaku penembakan di masjid Quebec. (Reuters/Mathieu
Belanger)
|
“Jika seseorang ingin memanfaatkan situasi yang terjadi untuk menanamkan perpecahan yang lebih besar di masyarakat, kami hanya bisa mengatakan mereka adalah pecundang,” ujarnya.
Tetapi bai Saidane, pihak berwenang Kanada bertindak terlalu lambat terhadap aksi-aksi penuh kebencian itu.
Dia berimigrasi ke Kanada 30 tahun lalu, dan sekarang merasa bahwa “Komunitas Muslim menjadi korban populisme.”
Credit CNN Indonesia