Yasay mengatakan, pemerintah harus
berhati-hati dalam menangani masalah LCS agar tak menimbulkan masalah
yang lebih besar kelak. (Reuters/Jorge Silva)
Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Yasay, mengonfirmasi kepada Reuters, Senin (16/1), bahwa nota protes tersebut dikirimkan ke Kedutaan Besar China di Manila pada Desember lalu.
Nota itu dibuat setelah Filipina mendapatkan konfirmasi dari Pusat Studi Strategi Internasional (CSIS) mengenai pengerahan senjata di pulau-pulau buatan di Spratly. Salah satu pulau tersebut terletak di dalam Zona Ekonomi Eksklusif Filipina.
Yasay mengatakan, pemerintah harus berhati-hati dalam menangani masalah LCS agar tak menimbulkan masalah yang lebih besar kelak.
|
Ia kemudian menuturkan, posisi Filipina memang cukup rumit setelah Rodrigo Duterte memegang tampuk pemerintahan. Sejak menjabat, Duterte memutar balik kebijakan luar negeri Filipina sehingga lebih dekat ke China.
Pergeseran kebijakan ini cukup menyita perhatian publik. Pasalnya, pemerintah Filipina sebelumnya sangat keras terhadap China yang mengklaim 90 persen wilayah perairan LCS, salah satu jalur perdagangan tersibuk dunia.
Manila bahkan mengajukan tuntutan ke Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) mengenai klaim China di LCS yang juga tumpang tindih dengan sejumlah negara lain, termasuk Malaysia, Brunei, dan Vietnam.
Namun ketika keputusan PCA yang menolak klaim China akhirnya diumumkan tak lama setelah pelantikan Duterte, Filipina justru bersedia berunding lagi dengan China. Kedua negara bahkan kian akrab dengan perjanjian pasokan senjata dari China ke Filipina.
Meskipun demikian, Yasay memastikan bahwa Filipina harus tetap menjaga kedaulatannya. Namun sekali lagi ia mengatakan, Filipina harus berhati-hati dalam mengambil tindakan terkait LCS.
"Kami tak dapat berperang dengan China, (tapi) ketika ada laporan mengenai pembangunan sistem senjata di daerah itu yang kami ketahui, kami harus memastikan bahwa kepentingan dan hak warga Filipina terlindungi," tutur Yasay.
Credit CNN Indonesia