JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh sekaligus ulama asal Jawa Timur almarhum Kiai Haji Raden As'ad Syamsul Arifin di Istana Negara, Jakarta, Rabu (9/11/2016).
Gelar tersebut diberikan kepada almarhum terkait peringatan Hari Pahlawan 10 November 2016. Adapun pemberian gelar itu berdasarkan atas Keputusan Presiden RI Nomor 90/TK/tahun 2016 tanggal 3 November 2016.
Kepala Biro, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan Sekretariat Militer Presiden Laksma TNI Suyono Thamrin menjelaskan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada As'ad yang merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) melalui berbagai pertimbangan dan penilaian.
Menurut dia, Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan telah melaksanakan sidang pada 11 Oktober 2016 untuk memberikan pertimbangan dan rekomendasi kepada Presiden atas usulan permohonan gelar Pahlawan Nasional tahun 2016 dari Kementerian Sosial melalui surat nomor 23/MS/A/09/2016 tanggal 21 September 2016.
Kemudian Dewan Gelar Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dalam bersidang berpedoman pada kriteria pemberian gelar Pahlawan Nasional yang tercantum pada Pasal 26 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
Penganugerahan gelar Pahlawan Masional kepada As'ad Syamsul Arifin diwakilkan kepada pihak keluarga yang dilakukan secara simbolis oleh Presiden. Acara penganugerahan gelar tersebut dihadiri sejumlah menteri Kabinet Kerja dan pimpinan lembaga negara.
Credit Sindonews
Hanya Satu Gelar Pahlawan Nasional
Soeharto dan Gus Dur kembali tak dapat gelar.
Presiden Joko Widodo berikan gelar Pahlawan Nasional pada cucu As'ad Syamsul Arifin, Achmad Azaim Ibrahimy. (Biro Pers Kepresidenan)
CB – Setiap
tahun, saat memperingati Hari Pahlawan 10 November, negara selalu
memberikan gelar Pahlawan Nasional pada seorang tokoh yang ikut membantu
memberikan sumbangsihnya pada kemerdekaan Indonesia.
Gelar ini hanya diberikan kepada seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi kawasan NKRI, yang meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya luar biasa bagi pembangunan, kemajuan bangsa, dan negara Republik Indonesia.
Tahun ini, gelar itu diberikan pada Kiai Haji Raden As'ad Syamsul Arifin. Seorang tokoh yang ikut membantu membangun organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama. Penghargaan ini diterima cucu As’ad, yaitu Achmad Azaim Ibrahimy.
Upacara pemberian gelar ini dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 9 November 2016.
Di tengah upacara, turut dibacakan Keputusan Presiden Nomor 90/TK/Tahun 2016 yang disahkan pada 3 November 2016, mengenai pemberian gelar As'ad sebagai Pahlawan nasional.
As'ad Syamsul Arifin lahir pada 1897 di Mekkah, Arab Saudi, dan meninggal 4 Agustus 1990 di Situbondo pada usia 93 tahun. Jenazah almarhum dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Johan Budi, menjelaskan penghargaan tertinggi yang bisa diberikan negara pada warganya ini, diberikan pada As'ad untuk menghormati baktinya pada negeri.
"Diberikan karena jasa-jasanya pada negara," jelas Johan saat dihubungi VIVA.co.id, Rabu, 9 November 2016.
As'ad merupakan ulama besar sekaligus tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, bersama KH Kholil dan KH Hasyim Asy’ari. Di NU, terakhir As'ad tercatat menjabat sebagai Dewan Penasihat atau Musytasar PBNU, hingga akhir hayatnya.
Pada kesempatan ini, Presiden juga memberikan tanda kehormatan Bintang Mahaputra, kepada dua tokoh yang dianggap memiliki jasa yang luar biasa dalam berbagai bidang.
Mereka adalah almarhum Mayjen TNI (Purn) Andi Mattalatta, tokoh dari Sulawesi Selatan. Selain itu, almarhum Letkol Inf. (Anumerta) Mohammad Sroedji, tokoh dari Jawa Timur.
Andi Mattalatta lahir di Barru, Sulawesi Selatan, 1 September 1920, dan meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan pada 16 Oktober 2004 di usia 84 tahun. Andi merupakan tokoh pejuang kemerdekaan asal Bugis, sekaligus tokoh olahraga dalam bidang renang, ski air dan tinju.
Dia juga merupakan ketua penyelenggara PON IV di Makassar, dan ayah dari penyanyi Indonesia, Andi Meriem Mattalata. Atas jasa-jasanya namanya diabadikan sebagai nama stadion di Makassar yaitu Stadion Andi Mattalata.
Adapun Sroedji, dilahirkan di Bangkalan-Madura, pada 1 Februari 1915 dan meninggal pada 8 Februari 1949 pada pertempuran di Jember, Jawa Timur. Sroedji merupakan tentara yang berjuang di Kabupaten Jember melawan penjajah Belanda. Pejuang tersebut wafat akibat ditembak pasukan Belanda pada 1949.
Jasa As'ad pada Negeri
Semasa hidup, As'ad merupakan pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Dia ikut berperan menggerakkan rakyat dan santri, khususnya dari Jawa Timur, agar ikut dalam Pertempuran 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur.
Dikutip dari situs resmi NU, Dosen UIN Walisongo sekaligus Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU, M. Rikza Chamami, menuliskan sedikit sejarah mengenai As'ad.
Pria ini memiliki garis kerurunan dari Sunan Ampel Raden Rahmat, karena menjadi putra pertama dari KH. Syamsul Arifin atau dikenal sebagai Raden Ibrahim, yang menikah dengan Siti Maimunah.
As’ad menempuh pendidikan di Mekkah sampai usia 16 dan kembali mengaji di Jawa. Setelah kembali ke tanah leluhurnya, dia belajar di berbagai pesantren, diantaranya Pondok Pesantren Sidogiri, Siwalan Panji Sidoarjo, Kademangan Bangkalan, dan Ponpes Tebuireng.
Berbekal ilmu dari berbagai pesantren itu, As'ad meneruskan perjuangan ayahnya untuk membesarkan Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah, pada 1938.
Perjuangan As’ad dalam mengusir penjajah tak hanya terjadi saat menggerakkan massa untuk mempertahankan Surabaya. Sebelumnya pondok Salafiyyah Syafi’iyyah pernah diserbu pasukan Belanda. Berkat kegigihannya, sekitar 10 ribu santri dan warga sekitar bisa dievakuasi.
Kemahiran As’ad dalam seni perang juga dibuktikan dengan memenangkan pertempuran di Bantal Asembagus, dimana Belanda sempat mengepung markas TNI.
Jasa As’ad lainnya pada negara adalah ikut mendorong NU berasaskan Pancasila. Saat Pemerintahan Soeharto mewajibkan penggunaan Pancasila pada 1982/1983, NU merespon cepat dengan menggelar Musyawarah Nasional Alim Ulama di pesantren milik As’ad.
Kemudian tepat 21 Desember 1983, Munas memutuskan menerima Pancasila dan revitalisasi Khittah 1926. Pada bulan Desember 1984 dalam Muktamar NU XXVII diputuskan asas Pancasila dan Khittah NU. Dan NU menjadi ormas pertama yang menerima Pancasila, demi keutuhan NKRI.
Proses Pemberian Gelar Pahlawan
Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada As'ad dilakukan berdasarkan pertimbangan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang berpedoman pada kriteria pemberian gelar Pahlawan Nasional sesuai Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2006 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Aturan itu mensyaratkan gelar diberikan pada mereka yang pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, perjuangan politik, atau perjuangan bidang lain dalam mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan. Serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Kemudian tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan. Melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya, dan melebihi tugas yang diemban.
Selain itu pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara. Serta pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Lalu, memiliki konsistensi jiwa semangat kebangsaan yang tinggi. Dan terakhir, melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak secara nasional.
Namun, meskipun seseorang memenuhi syarat khusus itu, tak serta merta mereka akan dianugerahi Pahlawan Nasional. Sebab, dalam situs resmi Sekretariat Negara, nama tokoh itu harus diusulkan sebagai calon pahlawan nasional oleh masyarakat, ke pemerintah daerah setempat.
Calon itu selanjutnya diteliti dan dikaji Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah. Jika memenuhi kriteria, maka nama itu diajukan ke Menteri Sosial selaku Ketua Umum Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat.
Di Kementerian Sosial, nama itu kembali diteliti secara administrasi, serta diteliti dan dikaji kembali. Jika memenuhi kriteria, nama itu baru bisa diajukan ke Presiden melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan untuk mendapatkan persetujuan Penganugerahan Pahlawan Nasional sekaligus Tanda Kehormatan lainnya.
Sebelumnya Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengungkap ada 13 nama yang diusulkan sebagai penerima gelar pahlawan nasional. Namun, sembilan nama dinyatakan belum memenuhi syarat administratif.
Sedangkan empat nama yang lolos adalah Abdurrachman Wahid atau Gus Dur, Soeharto, As'ad Syamsul Arifin, dan Abdurrahman Baswedan. Namun, hanya As'ad yang diberikan gelar tahun ini.
Khofifah memastikan, Presiden kedua RI, Soeharto, maupun Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gusdur kembali tak akan mendapatkan gelar kehormatan ini.
"Bukan, bukan (Soeharto ataupun Gusdur)," ujar Politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu, Minggu, 6 November 2016.
Padahal kedua tokoh tersebut sudah lama diusulkan ke Dewan Gelar Tanda Jasa dan Kehormatan untuk menjadi pahlawan nasional, karena dinilai banyak berjasa pada negeri.
Menanggapi keputusan ini, Ketua DPR Ade Komarudin memberikan pendapatnya. Secara diplomatis dia menyerahkan masalah ini kepada Dewan Gelar Tanda Jasa dan Kehormatan sebagai pihak yang berwenang.
Namun, "Kalau aspirasi saya pribadi, inginnya apa sih susahnya (memberikan gelar)," kata Ade di gedung DPR, Jakarta, Rabu, 9 November 2016.
Dia menilai Soeharto dan Gus Dur telah cukup berbakti pada negara, meski beragam polemik mengikuti sepak terjang mereka semasa menjadi pemimpin negeri.
"Pahlawan yang sempurna tak ada. Tapi itu kewenangan dewan gelar, kita serahkan pada dewan gelar," ucapnya.
Gelar ini hanya diberikan kepada seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi kawasan NKRI, yang meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya luar biasa bagi pembangunan, kemajuan bangsa, dan negara Republik Indonesia.
Tahun ini, gelar itu diberikan pada Kiai Haji Raden As'ad Syamsul Arifin. Seorang tokoh yang ikut membantu membangun organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama. Penghargaan ini diterima cucu As’ad, yaitu Achmad Azaim Ibrahimy.
Upacara pemberian gelar ini dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 9 November 2016.
Di tengah upacara, turut dibacakan Keputusan Presiden Nomor 90/TK/Tahun 2016 yang disahkan pada 3 November 2016, mengenai pemberian gelar As'ad sebagai Pahlawan nasional.
As'ad Syamsul Arifin lahir pada 1897 di Mekkah, Arab Saudi, dan meninggal 4 Agustus 1990 di Situbondo pada usia 93 tahun. Jenazah almarhum dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Johan Budi, menjelaskan penghargaan tertinggi yang bisa diberikan negara pada warganya ini, diberikan pada As'ad untuk menghormati baktinya pada negeri.
"Diberikan karena jasa-jasanya pada negara," jelas Johan saat dihubungi VIVA.co.id, Rabu, 9 November 2016.
As'ad merupakan ulama besar sekaligus tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, bersama KH Kholil dan KH Hasyim Asy’ari. Di NU, terakhir As'ad tercatat menjabat sebagai Dewan Penasihat atau Musytasar PBNU, hingga akhir hayatnya.
Pada kesempatan ini, Presiden juga memberikan tanda kehormatan Bintang Mahaputra, kepada dua tokoh yang dianggap memiliki jasa yang luar biasa dalam berbagai bidang.
Mereka adalah almarhum Mayjen TNI (Purn) Andi Mattalatta, tokoh dari Sulawesi Selatan. Selain itu, almarhum Letkol Inf. (Anumerta) Mohammad Sroedji, tokoh dari Jawa Timur.
Andi Mattalatta lahir di Barru, Sulawesi Selatan, 1 September 1920, dan meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan pada 16 Oktober 2004 di usia 84 tahun. Andi merupakan tokoh pejuang kemerdekaan asal Bugis, sekaligus tokoh olahraga dalam bidang renang, ski air dan tinju.
Dia juga merupakan ketua penyelenggara PON IV di Makassar, dan ayah dari penyanyi Indonesia, Andi Meriem Mattalata. Atas jasa-jasanya namanya diabadikan sebagai nama stadion di Makassar yaitu Stadion Andi Mattalata.
Adapun Sroedji, dilahirkan di Bangkalan-Madura, pada 1 Februari 1915 dan meninggal pada 8 Februari 1949 pada pertempuran di Jember, Jawa Timur. Sroedji merupakan tentara yang berjuang di Kabupaten Jember melawan penjajah Belanda. Pejuang tersebut wafat akibat ditembak pasukan Belanda pada 1949.
Jasa As'ad pada Negeri
Semasa hidup, As'ad merupakan pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Dia ikut berperan menggerakkan rakyat dan santri, khususnya dari Jawa Timur, agar ikut dalam Pertempuran 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur.
Dikutip dari situs resmi NU, Dosen UIN Walisongo sekaligus Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU, M. Rikza Chamami, menuliskan sedikit sejarah mengenai As'ad.
Pria ini memiliki garis kerurunan dari Sunan Ampel Raden Rahmat, karena menjadi putra pertama dari KH. Syamsul Arifin atau dikenal sebagai Raden Ibrahim, yang menikah dengan Siti Maimunah.
As’ad menempuh pendidikan di Mekkah sampai usia 16 dan kembali mengaji di Jawa. Setelah kembali ke tanah leluhurnya, dia belajar di berbagai pesantren, diantaranya Pondok Pesantren Sidogiri, Siwalan Panji Sidoarjo, Kademangan Bangkalan, dan Ponpes Tebuireng.
Berbekal ilmu dari berbagai pesantren itu, As'ad meneruskan perjuangan ayahnya untuk membesarkan Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah, pada 1938.
Perjuangan As’ad dalam mengusir penjajah tak hanya terjadi saat menggerakkan massa untuk mempertahankan Surabaya. Sebelumnya pondok Salafiyyah Syafi’iyyah pernah diserbu pasukan Belanda. Berkat kegigihannya, sekitar 10 ribu santri dan warga sekitar bisa dievakuasi.
Kemahiran As’ad dalam seni perang juga dibuktikan dengan memenangkan pertempuran di Bantal Asembagus, dimana Belanda sempat mengepung markas TNI.
Jasa As’ad lainnya pada negara adalah ikut mendorong NU berasaskan Pancasila. Saat Pemerintahan Soeharto mewajibkan penggunaan Pancasila pada 1982/1983, NU merespon cepat dengan menggelar Musyawarah Nasional Alim Ulama di pesantren milik As’ad.
Kemudian tepat 21 Desember 1983, Munas memutuskan menerima Pancasila dan revitalisasi Khittah 1926. Pada bulan Desember 1984 dalam Muktamar NU XXVII diputuskan asas Pancasila dan Khittah NU. Dan NU menjadi ormas pertama yang menerima Pancasila, demi keutuhan NKRI.
Proses Pemberian Gelar Pahlawan
Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada As'ad dilakukan berdasarkan pertimbangan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang berpedoman pada kriteria pemberian gelar Pahlawan Nasional sesuai Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2006 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Aturan itu mensyaratkan gelar diberikan pada mereka yang pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, perjuangan politik, atau perjuangan bidang lain dalam mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan. Serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Kemudian tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan. Melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya, dan melebihi tugas yang diemban.
Selain itu pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara. Serta pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Lalu, memiliki konsistensi jiwa semangat kebangsaan yang tinggi. Dan terakhir, melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak secara nasional.
Namun, meskipun seseorang memenuhi syarat khusus itu, tak serta merta mereka akan dianugerahi Pahlawan Nasional. Sebab, dalam situs resmi Sekretariat Negara, nama tokoh itu harus diusulkan sebagai calon pahlawan nasional oleh masyarakat, ke pemerintah daerah setempat.
Calon itu selanjutnya diteliti dan dikaji Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah. Jika memenuhi kriteria, maka nama itu diajukan ke Menteri Sosial selaku Ketua Umum Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat.
Di Kementerian Sosial, nama itu kembali diteliti secara administrasi, serta diteliti dan dikaji kembali. Jika memenuhi kriteria, nama itu baru bisa diajukan ke Presiden melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan untuk mendapatkan persetujuan Penganugerahan Pahlawan Nasional sekaligus Tanda Kehormatan lainnya.
Sebelumnya Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengungkap ada 13 nama yang diusulkan sebagai penerima gelar pahlawan nasional. Namun, sembilan nama dinyatakan belum memenuhi syarat administratif.
Sedangkan empat nama yang lolos adalah Abdurrachman Wahid atau Gus Dur, Soeharto, As'ad Syamsul Arifin, dan Abdurrahman Baswedan. Namun, hanya As'ad yang diberikan gelar tahun ini.
Khofifah memastikan, Presiden kedua RI, Soeharto, maupun Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gusdur kembali tak akan mendapatkan gelar kehormatan ini.
"Bukan, bukan (Soeharto ataupun Gusdur)," ujar Politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu, Minggu, 6 November 2016.
Padahal kedua tokoh tersebut sudah lama diusulkan ke Dewan Gelar Tanda Jasa dan Kehormatan untuk menjadi pahlawan nasional, karena dinilai banyak berjasa pada negeri.
Menanggapi keputusan ini, Ketua DPR Ade Komarudin memberikan pendapatnya. Secara diplomatis dia menyerahkan masalah ini kepada Dewan Gelar Tanda Jasa dan Kehormatan sebagai pihak yang berwenang.
Namun, "Kalau aspirasi saya pribadi, inginnya apa sih susahnya (memberikan gelar)," kata Ade di gedung DPR, Jakarta, Rabu, 9 November 2016.
Dia menilai Soeharto dan Gus Dur telah cukup berbakti pada negara, meski beragam polemik mengikuti sepak terjang mereka semasa menjadi pemimpin negeri.
"Pahlawan yang sempurna tak ada. Tapi itu kewenangan dewan gelar, kita serahkan pada dewan gelar," ucapnya.
Credit VIVA.co.id