Kamis, 08 Januari 2015

Menteri Jonan: Kenapa Saya Harus Tunduk pada Singapura?


Menteri Jonan: Kenapa Saya Harus Tunduk pada Singapura?
Menteri perhubungan Ignasius Jonan sidak di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu 5 November 2014. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat


CB, Pangkalan Bun - Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengatakan pengawasan izin rute kerap dianggap remeh. Ia mengambil contoh kasus Air Asia QZ8501 yang dibekukakan sementara. “Izin terbang periode winter yang dikeluarkan resmi dari Dirjen Perhubungan Udara justru dilanggar,” ujarnya sesudah meninjau posko pencari Air Asia QZ8501 di Pangkalan Bun, Rabu, 7 Januari 2015.

Dirjen Perhubungan Udara hanya memberi izin terbang Air Asia rute Surabaya-Singapura pada hari Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu. Namun, Air Asia QZ8501 justru terbang pada Senin, Rabu, Jumat, dan Ahad. Hanya hari Senin yang sama. Masalah ini terungkap setelah Air Asia QZ8501 mengalami kecelakaan di perairan Selat Karimata pada Ahad, 28 Desember 2014.

Beberapa waktu lalu, Otoritas Penerbangan Sipil Singapura (CAAS) menyatakan Air Asia mendapatkan izin rute pada hari Senin, Rabu, Jumat, dan Ahad.

Namun, menurut Jonan, seharusnya Air Asia tunduk pada regulasi negara keberangkatan, bukan negara tujuan saja. "Airline-nya harus mengurus ke Singapura dan Kementerian Perhubungan Indonesia. Di sana mungkin sudah dapat izin, di saya mengizinkan terbang pada hari itu. Kenapa saya harus tunduk pada Singapura?" kata dia.

Sebelumnya, Jonan juga mengatakan Kementerian Perhubungan akan mengumumkan hasil investigasi izin rute Air Asia QZ8501 jurusan Surabaya-Singapura paling lambat, Jumat, 9 Januari nanti. Tim investigasi, kata dia, akan membeberkan semua pihak yang bertanggung jawab atas izin rute pesawat yang jatuh di perairan Selat Karimata tersebut. "Kami akan konsisten,” ujarnya di kantornya, 6 Januari 2015.

Kementerian juga akan memperketat peraturan angkutan udara yang dianggapnya penuh distorsi akibat pertumbuhannya yang pesat, sekitar 20 persen per tahun dalam 10 tahun terakhir. ”Tidak boleh lagi ada kelonggaran. Lebih baik tidak berangkat, daripada tidak pernah tiba,” ujar bekas Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia itu.


Credit TEMPO.CO