Kotak hitam data pesawat AirAsia QZ5801
ditemukan, Airbus berencana memasang kotak hitam yang bisa terlontar di
pesawat produknya. (Detikcom/Agung Pambudhy)
Jika tercapai kesepakatan kedua pesawat itu akan menjadi yang pertama mempergunakan teknolgi ini.
Perusahaan Eropa ini mengatakan bahwa di masa depan pihaknya bisa memasang alat perekam yang bisa terlontar yang mengkombinasikan rekaman suara dan data satu penerbangan ini, di pesawat A330 dan A320.
Perundingan dengan Badan Keselamatan Penerbangan Eropa, EASA, dilakukan sementara pihak berwenang penerbangan global sedang mempertimbangkan untuk merekomendasikan alat ini agar memudahkan pencariannya ketika terjadi kecelakaan seperti pesawat AirAsia yang jatuh pada 28 Desember.
Tim Basarnas berhasil menemukan alat perekam data penerbangan tersebut pada Senin (12/1) tetapi alat perekam suaranya masih belum ditemukan.
Alat perekam yang bisa terlontar atau “deployable” yang sudah dimanfaatkan oleh pesawat miiter selama beberapa dekade, terpisah dari ekor pesawat ketika terjadi kecelakaan atau mengambang dan bisa mengirim tanda bahaya ke satelit.
“Airbus sedang bekerja sama dengan EASA…dan pemangku kepentingan lain untuk mencapai persetujuan atas solusi di industri ini secara luas,” ujar seorang juru bicara Airbus yang menambahkan tidak ada keterangan kapan alat ini mulai dimanfaatkan.
|
EASA menolak untuk memberi komentar.
Alat perekam yang bisa terlontar ini mendapat dukungan penuh dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional, ICAO.
Alat ini sudah direkomendasikan untuk dipasang oleh para penyelidik kecelakaan setelah kecelakaan pesawat Air France A330 pada 2009.
Satu proposal yang merekomendasikan agar pesawat komersial yang dinyatakan laik terbang setelah 2016 harus dilengkapi dengan alat ini akan dibicarakan oleh Komisi Navigasi Udara ICAO bulan ini.
Jika disetujui, setelah berkonsultasi dengan 191 negara anggota selama tiga bulan, persyaratan ini akan ditambahkan dalam satu paket baru standar pada 2016 dan mulai berlaku sekitar 2021.
Akan tetapi standar ICAO tidak selalu diterapkan oleh seluruh anggotanya.
Langkah ini bisa menguntungkan pemasok militer seperti DRS Technologies milik Finmeccanica, yang sejak lama mendorong penggunaan alat perekam yang bisa diluncurkan pada pesawat komersial.
Akan tetapi, tidak semua negara siap mendukung teknologi yang dipandang hanya sebagai satu cara menemukan bukti kecelakaan yang terjadi di air.
Cara lain adalah memanfaatkan alat pelacak berfrekuensi rendah, yang sudah disyarakatkan dalam standar ICAO, yang berfungsi memudahkan penemuan kotak hitam.
Sebagian pejabat khawatir dengan hanya bergantung pada alat perekam data yang bisa terlontar ini akan membuat upaya dan sumber daya mencari pesawat di dalam laut dan juga tubuh korban tidak maksimal, padahal kedua hal ini bisa membantu mencari penyebab kecelakaan pesawat dan membantu keluarga korban.
Boeing menentang penggunaan alat ini karena mayoritas kotak hitam bisa ditemukan dalam waktu 30 hari dan merujuk pada contoh dimana alat perekam alternatif ini tidak berfungsi pada pesawat militer.
Credit CNN Indonesia