Kamis, 24 Januari 2019

Pemberontak Irlandia Utara Bergerak Lagi


INFOGRAFIS: Pemberontak Irlandia Utara Bergerak Lagi



Credit  cnnindonesia.com


Teror Bom Irlandia Utara dan Memori Kelam The Troubles


Teror Bom Irlandia Utara dan Memori Kelam The Troubles Ilustrasi pemain bagpipe di Irlandia Utara. (REUTERS/Clodagh Kilcoyne)


Jakarta, CB -- Sabtu (19/1) malam pekan lalu Gina McFeely sedang berdandan di rumah susunnya di Kota Londonderry, Irlandia Utara. Dia sedang bersiap untuk pergi ke perayaan ulang tahun keponakannya yang ke 21.

Gina tersentak ketika mendengar sebuah suara dentuman. Dia tidak menyangka ternyata itu adalah sebuah bom mobil.

"Semua orang berhamburan ke jalanan. Saya lihat sebuah mobil terbakar. Apinya sangat besar dan saya mengatakan, 'Ya Tuhan'," kata Gina seperti dilansir CNN, Senin (21/1).


Terlanjur berdandan dan berjanji akan datang, Gina tidak punya pilihan lain. Dia tetap pergi ke pesta ulang tahun keponakannya.


"Sudah lama sekali tidak ada bom di Derry. Itu memang mengejutkan. Hal itu enggak membuat saya takut. Saya berasal dari Derry, dan kami pernah mengalami hal ini sebelumnya, tetapi ini membuat saya marah. Saya enggak mau kembali ke saat itu," ujar Gina.

Kenangan akan masa-masa kelam konflik Irlandia Utara, atau diistilahkan The Troubles, kembali mencuat selepas teror bom mobil pada akhir pekan lalu. Gina mungkin adalah satu dari sekian penduduk di Irlandia Utara yang terdampak pertikaian berdarah selama hampir tiga dasawarsa itu.

Masa konflik Irlandia Utara terekam dalam berbagai karya seni, seperti lagu 'Sunday Bloody Sunday' yang dilantunkan grup musik U2. Bahkan juga dalam sejumlah film.

Selama itu pula penduduk Irlandia Utara terbelah, antara mereka yang mendukung kemerdekaan atau bergabung dengan Republik Irlandia, dengan warga yang pro kekuasaan Inggris. Lingkungan perumahan dan pedesaan yang tenang mendadak menjadi medan perang. Antar tetangga kiri dan kanan saling curiga bahkan bermusuhan karena keberpihakan dan ideologi.

Kelompok gerakan pro kemerdekaan atau penggabungan dengan Republik Irlandia yang awalnya berjuang melalui jalan politik akhirnya angkat senjata. Mereka membentuk Tentara Republik Irlandia (IRA). Sedangkan yang mendukung kekuasaan Inggris juga mempersenjatai diri. Perang gerilya pun dimulai.

Pemerintah Inggris juga menerjunkan pasukan untuk memerangi kelompok pro Republik. Malah mereka juga menerjunkan pasukan elite Special Air Service (SAS) guna mengimbangi taktik gerilya IRA.

Karena lelah berperang, kedua belah pihak lantas menggelar perundingan damai pada 10 April 1998. Hari itu dikenal sebagai Kesepakatan Jumat Baik (Good Friday Agreement).

Korban dari konflik itu diperkirakan sekitar 50 ribu orang. Rinciannya 3,532 orang meninggal dan 47,500 terluka. Meski sudah berdamai, pertikaian tetap berjalan hingga 2002.

Kekuatan para pihak yang bertikai lantas diakomodasi melalui partai politik. Kelompok pro Republik lantas mendirikan Partai Sinn Fein dan Partai Sosial Demokrat dan Buruh (SDLP).

Sementara mereka yang pro Inggris membentuk Partai Persatuan Ulster dan Partai Persatuan Progresif (PUP).

Meski sudah berdamai, ada faksi di dalam IRA yang menyempal. Mereka tetap berkeras melanjutkan perlawanan bersenjata dengan menamakan diri Real IRA (RIRA) atau New IRA (NIRA). Kelompok ini lah yang dianggap mengancam stabilitas di Irlandia Utara. Apalagi dengan gonjang-ganjing Brexit yang hingga saat ini belum menemukan titik terang. Mereka memanfaatkan celah itu untuk memantik kembali bara pertikaian yang sudah meredup dan yang diharapkan bisa kembali mengoyak ketenangan warga Irlandia Utara.


Credit  cnnindonesia.com