CB, Tianjin – Pemerintah Cina
berjanji tidak akan melakukan devaluasi mata uang renminbi atau yuan
untuk meningkatkan ekspor dalam perang dagang dengan Amerika Serikat.
Perdana
Menteri Li Keqiang mengatakan ini beberapa jam setelah pemerintah Cina
menyatakan akan melakukan retaliasi atau balasan atas kenaikan tarif 10
persen untuk impor barang dari Cina senilai US$200 miliar atau sekitar
Rp3000.
Kenaikan tarif ini bakal memicu harga jual produk asal Cina di AS,
yang bisa membuat pembeli mengurangi pembelian mereka sehingga sebagian
produk tidak laku.
Devaluasi dalam konteks ini bisa mengurangi harga jual produk sejak awal sehingga harga ritel pasca terkena tarif tidak melonjak dan bisa terjangkau konsumen.
Li mengatakan ini dalam Forum Ekonomi Dunia, yang digelar di kota pelabuhan Tianjin pada Rabu, 19 September 2018. Dia tidak secara langsung menyebut konflik dagang yang sedang terjadi. Namun, Li menepis tudingan devaluasi mata uang sebagai tidak berdasar.
“Depresiasi nilai tukar mata uang satu arah bakal membawa masalah lebih banyak dibandingkan manfaat bagi Cina,” kata dia sambil menambahkan negara komunis dengan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS itu tidak bakal menempuh cara itu untuk mendongkrak ekspor. Menurutnya, Cina tidak akan melakukan itu hanya untuk mengejar keuntungan tipis dan sejumlah kecil dolar.
Li mengatakan sistem perdagangan multilateral harus terus didukung dan tindakan sepihak atau unilateral tidak bisa menyelesaikan masalah.
Pernyataan Li ini menaikkan nilai tukar yuan, yang telah merosot 9 persen sejak terjadinya perang dagang dengan AS pada pertengahan April 2018.
Pemerintah Cina, seperti dilansir Reuters, telah mengumumkan retaliasi berupa kenaikan tarif untuk impor US$60 miliar atau sekitar Rp893 triliun dari Amerika Serikat.
Ini sebagai reaksi atas keputusan Presiden AS, Donald Trump, menaikkan tarif sebesar 10 persen untuk impor barang dari Cina senilai sekitar US$200 miliar atau sekitar Rp3000 triliun. AS bakal menaikkan tarif itu menjadi 25 persen pada awal Januari 2019.
Trump juga mengisyaratkan siap mengenakan kenaikan tarif berikutnya untuk impor barang senilai US$267 miliar atau sekitar Rp4000 triliun dari Cina.
Bank of Merrill Lynch memperkirakan Cina bakal kehilangan pertumbuhan GDP hingga 0,5 persen untuk 2019 menjadi ke 6,1 persen.
Secara terpisah, bekas Gubernur Bank Sentral Cina, PBOC, Zhou Xiaochuan, mengatakan global investor bakal memilih mata uang yuan dibandingkan dolar karena terjadinya perang dagang yang semakin meningkat ini.
“Jika Amerika menggunakan terlalu banyak sanksi finansial terhadap negara-negara lain, itu mendorong (investor) mempertimbangkan untuk menggunakan mata uang lain,” kata Zhou kepada CNBC beberapa waktu lalu pada acara Easter Economic Forum, yang digelar di Vladivostok, Rusia. Menurut dia, kondisi saat ini mirip dengan saat awal terjadinya krisis ekonomi global karena dolar memberi ruang kepada mata uang lain untuk memainkan peran.
Devaluasi dalam konteks ini bisa mengurangi harga jual produk sejak awal sehingga harga ritel pasca terkena tarif tidak melonjak dan bisa terjangkau konsumen.
Li mengatakan ini dalam Forum Ekonomi Dunia, yang digelar di kota pelabuhan Tianjin pada Rabu, 19 September 2018. Dia tidak secara langsung menyebut konflik dagang yang sedang terjadi. Namun, Li menepis tudingan devaluasi mata uang sebagai tidak berdasar.
“Depresiasi nilai tukar mata uang satu arah bakal membawa masalah lebih banyak dibandingkan manfaat bagi Cina,” kata dia sambil menambahkan negara komunis dengan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS itu tidak bakal menempuh cara itu untuk mendongkrak ekspor. Menurutnya, Cina tidak akan melakukan itu hanya untuk mengejar keuntungan tipis dan sejumlah kecil dolar.
Li mengatakan sistem perdagangan multilateral harus terus didukung dan tindakan sepihak atau unilateral tidak bisa menyelesaikan masalah.
Pernyataan Li ini menaikkan nilai tukar yuan, yang telah merosot 9 persen sejak terjadinya perang dagang dengan AS pada pertengahan April 2018.
Pemerintah Cina, seperti dilansir Reuters, telah mengumumkan retaliasi berupa kenaikan tarif untuk impor US$60 miliar atau sekitar Rp893 triliun dari Amerika Serikat.
Ini sebagai reaksi atas keputusan Presiden AS, Donald Trump, menaikkan tarif sebesar 10 persen untuk impor barang dari Cina senilai sekitar US$200 miliar atau sekitar Rp3000 triliun. AS bakal menaikkan tarif itu menjadi 25 persen pada awal Januari 2019.
Trump juga mengisyaratkan siap mengenakan kenaikan tarif berikutnya untuk impor barang senilai US$267 miliar atau sekitar Rp4000 triliun dari Cina.
Bank of Merrill Lynch memperkirakan Cina bakal kehilangan pertumbuhan GDP hingga 0,5 persen untuk 2019 menjadi ke 6,1 persen.
Secara terpisah, bekas Gubernur Bank Sentral Cina, PBOC, Zhou Xiaochuan, mengatakan global investor bakal memilih mata uang yuan dibandingkan dolar karena terjadinya perang dagang yang semakin meningkat ini.
“Jika Amerika menggunakan terlalu banyak sanksi finansial terhadap negara-negara lain, itu mendorong (investor) mempertimbangkan untuk menggunakan mata uang lain,” kata Zhou kepada CNBC beberapa waktu lalu pada acara Easter Economic Forum, yang digelar di Vladivostok, Rusia. Menurut dia, kondisi saat ini mirip dengan saat awal terjadinya krisis ekonomi global karena dolar memberi ruang kepada mata uang lain untuk memainkan peran.
Credit tempo.co