Selasa, 25 September 2018

Lavrov Ungkap Alasan Tolak Proposal Perdamaian Israel-Palestina


Lavrov Ungkap Alasan Tolak Proposal Perdamaian Israel-Palestina
Lavrov mengungkapkan alasan mengapa Rusia menolak proposal perdamaian Israel-Palestina yang diajukan oleh pemerintahan Barack Obama tahun 2016 lalu. Foto/Reuters

MOSKOW - Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov mengungkapkan alasan mengapa Rusia menolak proposal perdamaian Israel-Palestina yang diajukan oleh pemerintahan Barack Obama tahun 2016. Lavrov menyebut, alasan utamanya adalah proposal tersebut kontrapuktif.

Berbicara jelang melakukan kunjungan ke New York untuk menghadiri Sidang Majelis Umum PBB, Lavrov menuturkan, pada akhir masa pemerintahannya, Obama sempat menyampaikan proposal baru perdamaian Israel-Palestina di Dewan Keamanan (DK) PBB.

Tanpa menjelaskan isi dari proposal tersebut, Lavrov menyatakan, Rusia menolak proposal tersebut, karena dinilai dapat mempersulit situasi di lapangan.

"Pada akhir 2016, ketika pemerintahan Obama mulai mempromosikan keputusan mengenai penyelesaian Palestina-Israel di DK PBB, lebih tepatnya memaksakan parameter 'buatan' dan hasil negosiasi yang telah ditentukan sebelumnya, Rusia tidak mendukung ini," kata Lavrov.



"Inisiatif AS, mengingat bahwa itu pasti akan mengarah ke situasi 'di lapangan' secara signifikan memperburuk situasi yang ada dan tanpa dampak nyata. Itu akan menjadi kontraproduktif," sambungnya, seperti dilansir Sputnik pada Senin (24/9).

Lavrov lalu menyatakan, pada bulan Desember 2016 dia menjelaskan kembali posisi Rusia saat melakukan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri AS kala itu, yakni John Kerry. "Kami mengklarifikasi posisi Rusia, yang juga diperhitungkan atas permintaan (Perdana Menteri Israel) Benjamin Netanyahu," ucapnya.

Pada akhir Desember 2016, Lavrov, dalam pembicaraan dengan Kerry, menekankan perlunya menciptakan kondisi untuk negosiasi langsung antara para pemimpin Israel dan Palestina dan memperingatkan agar tidak membawa agenda domestik AS ke dalam Kuartet di Timur Tengah dan DK PBB, menunjukkan bahaya upaya untuk menggunakan platform ini untuk pertikaian antara Demokrat dan Republik.  



Credit  sindonews.com