''PP1/2017 tergolong baik karena masih memberikan kesempatan Freeport untuk tetap sebagai pemegang saham hingga 2041, apabila kontraknya berubah menjadi IUPK dan diberi waktu untuk bikin smelter hingga tahun 2022,'' kata Satya, saat dihubungi, Ahad (1/10).
Kalau Freeport tidak setuju, maka akan punya konsekuensi. Pemerintah tidak perlu memperpanjang kontrak mereka pada 2021, dan mengambil alih 100 persen kepemilikan perusahaan tambang yang berbasis di Amerika tersebut.
Sehingga, ia menilai posisi Indonesia sudah jelas, yaitu mengacu kepada PP No 1. 2017 dan UU Minerba. ''Ingat divestasi 51 persen harus diikuti dengan operatorship harus dipegang Indonesia. Konsekuensinya, kontrak Freeport yang berakhir tahun 2021 tidak usah diperpanjang,'' jelasnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Resourches Studies (IRESS) Marwan Barubara menyatakan, pemerintah mesti jujur, apakah divestasi 51 persen tersebut berbentuk kepemilikan penuh oleh Indonesia, atau sebagian harus melalui Initial Public Offering (IPO).
''Soal Holding tambang itu kan bisa jadi hanya akal -akalan pemerintah saja,'' sebut Marwan.
Penolakan proposal divestasi oleh Freeport seolah olah pemerintah takut. Padahal Indonesia ada di atas angin. Sehingga, ia meminta pemerintah jangan jangan takut. Justru, Freeport lah yang takut, karena jika kontrak tidak diperpanjang, maka sahamnnya akan anjlok.
Selain itu, ia mengimbau pemerintah untuk tidak memperpanjang kontrak Freeport jika menolaj divestasi. ''Lebih baik diselesaikan dulu sampai 2021, baru diambil alih. Tapi kan gak gratis, tidak seperti migas. Ada biayanya,'' ujar dia.
Credit REPUBLIKA.CO.ID