Kamis, 01 Desember 2016

Krisis Ukraina Berkepanjangan, Rusia Enggan Disalahkan


 
Krisis Ukraina Berkepanjangan, Rusia Enggan Disalahkan Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Mikhail Yurievich Galuzin, menilai pemerintah Ukraina justru memperpanjang konflik dengan melanggar Perjanjian Minsk (CNN Indonesia/Ranny Virginia Utami)
 
 
Jakarta, CB -- Rusia enggan disalahkan atas krisis berkepanjangan antara pemerintah Ukraina dan kelompok oposisi. Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Mikhail Yurievich Galuzin, menuduh Kiev yang melanggar perjanjian sehingga masalah tak kunjung selesai.

"Rusia tidak menjadi bagian dari konflik internal ini. Semuanya ada pada masyarakat dan pemerintah Ukraina. Sampai saat ini, pemerintah Ukraina belum juga memenuhi apa yang diwajibkan dalam Protokol Minsk. Itu poin utamanya," kata Galuzin di Jakarta, Rabu (30/11).

Perjanjian Minsk disepakati pada September 2014 sebagai upaya menghentikan perang internal di wilayah Donbass, Ukraina. Perundingan ini melibatkan perwakilan pemerintah Ukraina, Rusia, dan kelompok oposisi yakni Republik Donetsk (DPR) dan Republik Lugansk (LPR).

Menurut Galuzin, perdamaian di wilayah timur Ukraina sepenuhnya berada di tangan pemerintah dan masyarakat negara itu. Rekonsiliasi dan perdamaian dinilai dapat tercapai jika seluruh pihak bersengketa mau menjalankan Perjanjian Minsk.

"Saya harus mengatakan ini. Pemerintah Ukraina lah yang bertanggung jawab atas terhambatnya perundingan perdamaian. Jika [pemerintah Ukraina] mau menjalankan apa yang telah disepakati dalam Minsk Protocol, seharusnya rekonsiliasi bisa berjalan," kata Galuzin.

Konflik internal Ukraina dipicu oleh unjuk rasa yang terjadi di wilayah Donetsk dan Lugansk pada Maret 2014 lalu menyusul digulingkannya pemerintahan Viktor Yanukovych, yang pro-Rusia, dari pemerintahan Ukraina. Demonstrasi ini berubah menjadi konflik bersenjata antara pasukan separatis melawan tentara Ukraina.

Perjanjian Minsk menghasilkan beberapa kewajiban dan protokol yang harus dipenuhi oleh seluruh pihak yang terlibat dalam konflik agar dapat mencapai rekonsiliasi.

Beberapa kewajiban dalam protokol itu mencakup kewajiban pemerintah Ukraina untuk mengadopsi undang-undang yang menyatakan bahwa wilayah Lugansk Oblast dan Donestk merupakan wilayah dengan kepemerintahan khusus, pengampunan bagi seluruh pihak yang terlibat selama perang dari kedua belah pihak, penyelenggaraan pemilu pada wilayah Donetsk dan Lugansk, serta mengakui secara konstitusional bahwa wilayah Donetsk dan Lugansk merupakan daerah khusus di Ukraina.

Diberitakan Reuters, Pembicaraan terkait Perjanjian Minsk kembali digelar pada Selasa (29/11) kemarin. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov menyebutkan perundingan yang juga dihadiri oleh Menlu Jerman Frank-Walter Steinmeier dan Menlu Perancis Jean-Marc Ayrault itu tidak menghasilkan terobosan apapun.

Steinmeier juga mengatakan pertemuan tersebut hanya sebatas pembahasan yang tidak dibarengi dengan langkah-langkah konkret.

"Pertemuan hari ini sangat membosankan. Perkataan dan pernyataan saja tidak cukup untuk menyelesaikan konflik ini," kata Steinmeier.

Pada Oktober lalu Ukraina, Perancis, Rusia, dan Jerman telah sepakat menyusun rencana implementasi Perjanjian Minsk yang selama ini belum berjalan.

Perkataan dan pernyataan saja tidak cukup untuk menyelesaikan konflik ini.Frank-Walter Steinmeier

Kiev dan Negara barat menuding Rusia selama ini telah mendukung kelompok separatis di Ukraina dengan memasok kebutuhan dan bantuan kepada pemberontak di sana. Kerusuhan separatis ini telah menewaskan setidaknya 10 ribu orang sejak 2014 lalu.

Negara Barat telah menerapkan sanksi ekonomi kepada Moskow. Moskow selama ini membantah seluruh dugaan keterlibatannya dalam konflik internal di Ukraina dan menuding bahwa pemerintah Ukraina lah yang bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi di sana lantaran telah melanggar Perjanjian Minsk.

Credit  CNN Indonesia